BUMDes Tirta Sembada: Bisnis Pertanian Modern Lewat Teknologi Internet
BUMDes Tirta Sembada berkolaborasi dengan petani membuat paket wisata edukasi pertanian modern berbasis internet.
Udara terasa lebih panas dan bikin gerah, kemarau seperti belum berlalu walau musim penghujan telah tiba. Seratusan anak berkumpul di bangsal pascapanen dan pengolahan komoditas hortikulkura, bangunan baru di ujung desa.
Mereka yang berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Temanggung, itu datang untuk kunjungan lapangan sekaligus menimba ilmu dan pengalaman ikhwal pertanian cerdas dan praktik agropreneur, pada akhir pekan kedua Oktober lalu.
”Kapan bapak memulai usaha ini dan mengapa smart farming yang dipilih,” tanya seorang siswi.
“Saya memulai tahun 2017 dengan hidroponik, lalu tahun 2020 mulai mengembangkan dan membangun green house dengan IoT atau teknologi berbasis internet,” ujar Hendi Nur Seto, menjawab pertanyaan siswa sekolah bidang pertanian dan teknologi pangan itu.
Di desa wilayah paling barat Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah ini, terdapat tujuh kelompok tani yang bercocok tanam dengan memanfatkan internet agar lebih efisien. Penerapan teknologi membuka peluang petani untuk menambah variasi komoditas, mendapatkan kepastian harga pada masa panen, menghemat air, dan pupuk .
”Kalau di Desa Bansari ada tujuh, di luar Bansari (tetangga desa) juga ada tujuh. Setiap kelompok tani beranggotakan antara 100 petani sampai 120'an petani,” katanya.
Hendi yang alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, ini bilang mereka antara lain menanam melon, cabai, dan tomat. Memang, sebelumnya ada petani yang menanam kedua komoditas ini secara konvensional, tetapi dengan penerapan sistem pertanian pintar petani bisa melipatgandakan panen. Buah yang dihasilkannya pun berkualitas premium.
“Petani biasanya hanya terbatas pada palawija dan tembakau. Tetapi dengan smart farming jenis yang ditanam lebih banyak. Hemat air, hemat pupuk, tidak kotor,” kata Hendi.
Melalui sistem itu, semua tahapan bercocok tanam tercatat dan teragenda sehingga petani bisa memulai proses penyiapan lahan, pemilihan bibit, penanaman, hingga masa memanen dengan lebih presisi. Pengaturan masa tanam, pemberian pupuk, serta perawatan semua terjadual. Dia mencontohkan tanaman cabai, jika ditanam secara konvensional bisa hanya dua kali masa panen dalam satu musim tanam. Hal itu akan berbeda jika ditanam dengan sistem pertanian pintar. Petani memetik hasilnya secara terus menerus selama dua tahun.
“Petani biasanya menanam di lahan terbuka, menanamnya sayur juga tembakau. Sekarang petani menanam melon, tomat, cabai di dalam green hose. Di dalam green house ada automatisasi penyiraman, sensor suhu, kelembaban, pupuk sensor air, sensor cahaya, dan semua parameter yang dibutuhkan tanaman,” katanya menjelaskan teknologi berbasis internet ini.
Kepada kelompok-kelompok tani itu, Hendi mengenalkan sistem pertanian berbasis Internet, pemanfaatan energi matahari, serta pengawasan melalui kamera pengawas (CCTV, closed circuit television).
Tak hanya sebagai area bertani, rumah Hendi yang halamannya luas menjadi sarana wisata edukasi, serta wahana permagangan bagi siswa dan mahasiswa. Penerapan pertanian dengan green house membawa perubabahan dari pertanian konvensional yang fluktuatif ke pertanian modern yang pasarnya pasti dan harganya stabil.
”Hasil panen sudah dikerjasamakan dengan off taker (perusahaan) dengan harga yang sudah diketahui sedari awal, sehingga petani tidak dipusingkan dengan masalah harga. Petani hanya fokus budidaya, tak perlu memikirkan nanti petani mau dapat berapa, apakah ada sisa untuk keuntungan atau tidak,” ungkap Hendi.
Hasil olah tanah tanah petani itu kemudian, dikirim ke mal-mal di kota besar juga menyuplai pabrik di Jabodetabek, Bandung, dan Semarang. Pemasaran komoditas pertanian di desa ini kian luas seiring meningkatnya pemanfaatan Internet dengan beragam kemudahan yang ditawarkan aplikasinya. Melalui pasar digital yang didukung kemudahan transaksi, hasil jerih payah petani mampu menyasar konsumen dengan harga tinggi.
”Kami juga menjualnya melalui berbagai marketplace, ” kata sosok menyelesaikan pendidikan tingginya pada 2016 itu.
Sebagian besar petani di desa ini belum menerapkan sistem pertanian modern dengan green house. Hal itu karena biaya awalnya yang dinilai tinggi. Ada anggapan bahwa pertanian modern itu mahal. Hendi lalu mengibaratkan menyiapkan lahan pertanian modern plus perantinya seperti membeli tanah pada pertanian konvensional. Biaya pembuatan satu green house yang memadai sekitar Rp 125 juta.
”Investasi awalnya terbilang besar. Green house yang baik bisa bertahan 25 tahun,” kata dia.
Wisata Embung
Tak jauh dari rumah Hendi, sekira dua kilometer ke arah barat, di lokasi itu ada Embung Bansari. Tempat penampungan air berkapasitas 8,588 meter kubik, luas genangannya 0,56 hektare. Proyek itu rampung dibangun pada 2021 dengan menelan biaya Rp 9,1 miliar. Dari ujung permukiman warga, jalan menuju sarana pengairan yang diresmikan mantan Presiden Joko Widodo, itu berupa beton.
Selain berfungsi sebagai penampung air untuk pengairan, embung yang bersebelahan dengan Kawasan Terpadu Nusantara (KTN) juga dimanfaatkan untuk lokasi wisata. KTN itu dibangun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Pemerintah Kabapaten Temanggung, sebagai sarana deradikalisasi bekas tahanan kasus terorisme dengan memanfaatkan lahan sekira 10 hektare di lereng Gunung Sindoro.
Wisata di kawasan embung itu dikelola Badan Usaha Milik Desa Tirta Sembada yang berdiri sekira empat tahun lalu. Selain mengelola wisata embung, BUMDes juga membuat paket wisata edukasi yang berkolaborasi dengan kelompok tani, toko sembako, serta air bersih. Ketua Pengelola Wisata Embung Bansari, Markodim mengungkapkan kunjungan wisatawan menunjukkan tren positif. Rata-rata pengunung dari Januari hingga Juni 2024 sebanyak 2.830 orang per bulan.
“Ini angka kunjungannya Bulan Januari 2024 sebanyak 2.635 orang, Februari 2.023 orang, Maret 1.435 orang, April 5.098 orang, Mei 3.000 orang, dan Juni 2.788 orang. Jumlah ini belum termasuk yang kemping pada malam hari”, kata Markodim.
Pengunjung embung dikutip karcis Rp5 ribu dan sewa lahan parkir Rp10 ribu. Markodim menerangkan secara perlahan lokasi wisata yang dikelolanya mulai menyumbang pemasukan untuk pendapatan desa. Walau demikian, dia menandaskan hal itu tidak dicapai dengan mudah karena baru menginjak tahun keempat bisa menuai hasil.
“Per bulan untuk desa Rp20 juta, ini setelah dikurangi biaya operasional dengan misalnya untuk penjaga tiket. Untuk keperluan itu, pengelola bekerja sama dengan karang taruna”, kata Markodim.
Pengunjung embung bisa menikmati malam dengan kemping di sebelah kiri jalan area embung. Jika tak membawa sarana kemping, bisa menyewanya. Di lokasi itu juga tengah dibangun sarana berjualan para pedagang serta tempat memajang produk unggulan desa, tak jauh dari situ juga ada dibangun musala.
Kreativitas warga mengolaborasi dan menyinergikan potensi desa mengantar Bansari menyabet juara pertama Nugraha Karya Desa BRILiaN 2023. Selain bertani, sebagian warga desa menjalankan usaha skala menengah, kecil, dan mikro. Ada yang mendirikan kafe, mengolah kopi dengan sejumlah jenama lokal, usaha jasa desain dan percetakan, kerajinan kulit, serta usaha lainnya.
Sebagai desa dikenal sebagai penghasil tembakau, Bansari juga melestarikannya melalui festival tahunan, namanya Festival Lembutan. Lembutan merupakan istilah untuk daun tembakau yang dirajang tipis. Lembutan untuk keperluan tingwe alias nglinthing dhewe atau menggulung daun tembakau kering dibuat rokok secara mandiri.
Festival yang juga menampilkan daya kreasi seni dan usaha kecil menengah perdesaan, tersebut pada 2024 ini memasuki tahun kelima. Berbagai kesenian daerah mulai dari kuda lumping baik gagrak lawas atau kreasi baru, warokan, senam modern, hingga gelar wicara, dipertunjukkan dalam perhelatan yang berlangsung selama tiga hari.
Pesona alam di desa yang terdiri atas sembilan dukuh ini akan memanjakan mata mereka yang datang. Dari sudut mana pun di desa itu manakala memandang ke arah timur tampak hamparan pertanian dan permukiman warga dengan latar belakang jajaran gunung mulai Sumbing, Merapi, Merbabu, Andong, Ungaran, hingga Gunung Telomoyo. Dari ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut, jika cuaca cerah pada malam hari, cahaya lampu dari desa-desa di dataran yang lebih rendah akan tampak seperti gerombolan kunang-kunang.