BUMDes Maju Bersama: mengubah desa kumuh menjadi desa resik
Desa Klampok, Banjarnegara terkenal sebagai desa kumuh akibat tumpukan sampah. Di tangan BUMDes Maju Bersama, mereka berhasil mengubah citra buruk ini dan menjadi potensi ekonomi. Melibatkan kalangan difable dalam mengelola sampah desa.
Sampah pernah menjadi persoalan serius bagi masyarakat Desa Klampok, Kecamatan Purwareja Klampok, Banjarnegara, Jawa Tengah. Desa Klampok berada di ibukota Kecamatan Purwareja Klampok, dengan industri yang bergeliat, serta perumahan yang padat. Ini membuat produksi sampah di desa itu terus meningkat. Ironisnya, warga semakin kesulitan menemukan lahan kosong untuk membuang sampah karena padatnya pemukiman dan industri.
Alhasil, sampah berserak dimana-mana. Dimana ada lahan terbuka, di situ tumpukan sampah berada.
“Sampah dibuang ke kebun, ada yang dibuang ke sungai, parit dan lahan punya orang lain. Ada yang keberatan lahannya dipakai untuk buang sampah,”kata Agus Sutikno, Direktur BUMDes Maju Bersama Agus Sutikno
Bukan hanya merusak keindahan, sampah yang menumpuk di komplek pemukiman melahirkan pencemaran hingga gangguan kesehatan (penyakit). Desa ini bahkan sempat dicap kumuh yang identik dengan masalah sampah. Tak heran, Klampok dalam beberapa tahun terakhir menjadi sasaran Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) dari Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Program tersebut ditujukan untuk mempercepat penanganan pemukiman kumuh di perkotaan. Melalui program itu, Desa Klampok mendapat stimulus dana untuk pembangunan infrastruktur Tempat Pengolahan Sampah (TPS) Reduce, Reuse, Recycle (3R). Infrastruktur itu dibangun di lahan bengkok Rt 1 Rw 11, di bawah naungan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), tahun 2010 lalu.
Keberadaan TPS 3R membuat warga tidak punya alasan lagi untuk membuang sampah sembarangan. Ini sekaligus awal perubahan budaya warga dalam memerlakukan sampah di lingkungan mereka. Tapi aplikasinya memang tak mudah. Ini menyangkut budaya di masyarakat yang telah mengakar. Tugas pengelola meyakinkan warga agar mau mengalihkan sampah mereka ke TPS.
“Sebelum jalan, kami sosialisasi ke warga. Karena nampaknya, sebagian besar warga bermasalah dengan pembuangan sampah. Kami ajak warga menggunakan jasa kami,”katanya
Perlahan, pengelola berhasil meyakinkan sebagian warga untuk membuang sampahnya ke TPS. Jumlah pelanggan terus bertambah, dari 250 rumah, kini sudah mencapai 600 rumah yang tersebar di Desa Klampok, Desa Kaliwinasuh,dan Desa Kalilandak Kecamatan Purwareja Klampok.
Warga tak lagi bingung lagi kemana harus membuang sampah. Mereka tinggal mengumpulkan sampah di rumah dan lingkungannya ke dalam wadah plastik. Setiap beberapa hari sekali, ada petugas yang akan mengambilnya menggunakan kendaraan bak terbuka.
Untuk jasa pengambilan sampah, tidak gratis tentunya. Setiap rumah ditarik iuran Rp 20 ribu perbulan. Namun tidak semua uang itu masuk ke kas BUMDes. Rp 3000 di antaranya dikembalikan untuk kas kampung atau RT. Iuran sebesar itu, kata dia, tak memberatkan warga. Sebab mereka tidak lagi dipusingkan dengan masalah sampah di lingkungannya.
“Kami terima Rp 17 ribu,”katanya
Maggot jadi solusi
Pengumpulan sampah di TPS di satu sisi membantu mengatasi persoalan sampah di masyarakat. Namun di sisi lain, ternyata keberadaan TPS 3R justru melahirkan masalah baru bagi warga sekitar.
Sampah yang menggunung di TPS melahirkan pencemaran (bau) bagi penduduk sekitar. Terlebih jarak TPS dengan rumah terdekat warga hanya sekitar 30 meter. Sedangkan upaya pemrosesan sampah menjadi kompos belum optimal. Proses fermentasi sampah organik, kata dia, butuh waktu lama, sekitar 30 hari.
Sementara sampah kiriman masyarakat datang tiap hari. Apalagi tidak semua sampah non organik, misal plastik dan kertas bisa dipilah dan dijual kembali ke pengepul. Banyak sampah yang tertahan karena tak layak jual. Ini menjadi beban sekaligus memicu pencemaran di lingkungan TPS.
Pengelola harus memutar otak untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bagaimanapun, TPS harus dipertahankan, tak boleh berhenti operasi. Terlebih masyarakat secara umum sudah mulai merasakan manfaatnya.
Maggot, makhluk kecil pemakan sampah menjadi “penyelamat” bagi keberlangsungan TPS 3R. Maggot adalah siklus pertama (larva) yang bermetamorforsa menjadi lalat dewasa Black Soldier Fly (BSF). Untuk itu, pihaknya tak segan belajar budidaya maggot BSF ke peternak yang lebih dulu sukses mengembangkannya di Kabupaten Banyumas.
“Akhirnya kami studi banding ke Banyumas. Ternyata solusinya maggot. Sampah akan dimakan maggot, dan akhirnya tidak menimbulkan bau,”kata Febrian Syamsu, Ketua TPS 3 R Bumdes Maju Bersama
Siang itu, sebuah kendaraan roda tiga pengangkut sampah langsung masuk ke gudang TPS. Oleh petugas, sampah itu diturunkan lalu dimasukkan ke mesin pencacah. Melalui teknologi itu, sampah berbagai ukuran disulap menjadi bubur sampah dengan ukuran yang sudah lembut. Sapin, salah satu pekerja TPS, memindahkan bubur sampah itu ke kotak-kotak kayu tempat tinggal anakan maggot.
Setiap hari, Sapin harus memastikan ketersediaan pakan maggot cukup. Makhluk kecil itu akan langsung lahap memakan bubur sampah. Tak ayal, hanya dalam hitungan hari, bayi larva yang masih lembut cepat membesar hingga siap dipanen.
Pihaknya membeli bayi maggot dari pembudidaya BSF seharga Rp 3000 pergram. Satu gram bayi larva membutuhkan 2-3 kilogram bubur sampah sebagai makanan sampai siap penan. Dengan asupan makanan yang cukup itu, segram bayi maggot bisa berkembang menjadi 1-2 kilogram maggot siap panen. Tiap kilogram maggot dijual pihaknya seharga Rp 6000. Sepekan sekali, pihaknya bisa memanen sekitar 200 kilogram atau 2 kuintal maggot.
“Permintaan banyak. Tapi kami baru mampu 2 kuintal tiap minggu,”katanya
Budidaya maggot jelas menguntungkan. Pengelola tidak pusing memikirkan biaya pakan pabrikan seperti ketika beternak unggas atau ikan. Pakan maggot berupa sampah selalu melimpah tanpa harus membeli. Bahkan sebaliknya, setiap menerima sampah, pengelola justru menerima uang jasa dari warga sebesar Rp 20 ribu per rumah. Alhasil, keuntungan yang didapat ganda.
Pemasukan itu dipakai untuk membiayai operasional TPS 3R dan menambah Pendapatan Asli Desa (PAD), termasuk untuk menggaji enam karyawan yang bekerja setiap hari.
Menariknya, sebagian pekerja di TPS adalah difabel. Febri mengatakan, pihaknya sengaja merekrut tenaga difabel karena kondisi mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di luar. Padahal, mereka juga memiliki masa depan dan keluarga yang harus dinafkahi. Di TPS, mereka diberi tugas yang sama dengan pekerja lainnya. Ada yang bertugas memilah sampah atau rongsok, menggiling sampah, hingga merawat maggot. Nyatanya, meski memiliki keterbatasan fisik, mereka bisa melaksanakan setiap pekerjaan itu dengan baik dan profesional.
“Alhamdulillah mereka mampu dengan pekerjaan yang ada di TPS 3R,”katanya
Prospek menjanjikan
Kewirausahaan sosial ini berpotensi terus berkembang dan berkelanjutan. Sampah tak cukup diselesaikan dengan pendekatan sosial, namun harus ditopang dengan usaha berkelanjutan. Terbukti prospek maggot begitu menjanjikan. Pangsa pasar maggot masih terbuka lebar. Kebutuhan maggot di masyarakat dengan ketersediaannya masih belum berimbang. Pihaknya sering kekurangan melayani permintaan yang tinggi.
Selama ini, maggot diburu para peternak untuk pakan alternatif di luar pakan pabrikan. Komsumen maggot beragam, mulai peternak unggas, pembudidaya ikan, pemelihara burung, hingga pemancing untuk umpan ikan.
“Ada yang rutin sekali ambil 50 kilogram sekali,”katanya
Sudah 1,5 tahun ini, Muslih, peternak ayam asal Desa Purwonegoro Kecamatan Purwanegara, Banjarnegara menggunakan maggot untuk tambahan gizi unggasnya. Ia mengatakan, maggot memiliki kandungan protein tinggi sehingga bagus untuk mendukung pertumbuhan unggas.
Ia sempat membudidayakan maggot sendiri untuk mencukupi kebutuhan ternaknya. Namun produksi maggotnya belum mampu mencukupi kebutuhan ribuan ekor ternaknya. Karena itu, ia memutuskan membeli maggot dari luar agar kebutuhan pakan ternaknya tercukupi.
“Selain membeli maggot di TPS3R Klampok, saya juga ambil dari Susukan,”katanya
Setiap hari ia membutuhkan sekitar 20 kilogram maggot untuk kebutuhan pakan unggas. Di samping maggot, ia tetap menggunakan konsentrat pabrikan sebagai pakan utama. Tapi ia beruntung karena penggunaan maggot bisa mengurangi pembelian pakan pabrikan hingga sekitar 10 persen.
Hanya ia mengaku kesulitan mendapatkan maggot karena masih jarang orang yang mau membudidayakannya. Ia harus berebut dengan peternak atau konsumen lain untuk mendapatkan maggot dari penjualnya.
Bukan hanya peternak unggas, peternak ikan juga membutuhkan maggot sebagai pakan alternatif untuk mengurangi pembelian pakan pabrikan yang mahal. Jika harga pelet sekitar Rp 12 ribu perkilogram, peternak ikan hanya membeli maggot dengan harga Rp 6000 perkilogram.
“Kalau untuk lele berani dikasih maggot lebih banyak. Untuk ayam, masih tetap pakai pakan pabrik, hanya mengurangi,”katanya
Ubah Perilaku
Pundi-pundi rupiah yang dihasilkan dari pemrosesan sampah ibarat bonus. Yang terpenting adalah terjadinya perubahan perilaku masyarakat yang lebih ramah terhadap lingkungan.
Warga tidak lagi membuang sampah sembarangan. Sungai, lahan kosong, hingga parit-parit yang sebelumnya dipenuhi sampah kini relatif lebih bersih. Pencemaran lingkungan akibat pembuangan sampah sembarangan juga sudah jauh berkurang. Klampok yang sempat dicap kumuh kini sudah mulai terbebas dari masalah sampah.
Menurut Pengawas BUMDes Maju Bersama Suparjo, pihaknya terus memerluas jumlah pelanggan agar permasalahan sampah di daerah bisa teratasi. Semakin banyak sampah yang dikirim ke TPS tak jadi soal. Produksi maggot justru bisa lebih maksimal karena persediaan makanan (bubur sampah) melimpah.
Bukan hanya maggot, ternyata limbah atau bekas maggot (Kasgot) pun bernilai tinggi. Limbah itu rupanya bagus untuk menyuburkan lahan pertanian. Karenanya, limbah itu pun laku dijual.
“Saya sendiri, meski punya lahan kosong untuk membakar sampah, lebih memilih buang sampah ke TPS meski harus iuran tiap bulan. Apalagi kalau musim hujan sampah sulit dibakar, menimbulkan pencemaran,”katanya
Kepala Bidang Persampahan Dinas Perumahan, Kawasan Pemukiman, dan Lingkungan Hidup (DPKPLH) Kabupaten Banjarnegara Riyanto mengatakan, pihaknya mengapresiasi kreativitas masyarakat Desa Klampok yang berhasil memanfaatkan sampah untuk budidaya Maggot. Ia pun berharap, apa yang sudah dilakukan masyarakat Desa Klampok dalam mengolah sampah ini ditiru masyarakat lain.
“Sehingga sampah dapat terkelola dan bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri,”katanya
Sebenarnya Pemerintah Kabupaten sudah menyediakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Desa Winong Kecamatan Bawang. Masyarakat bisa memanfaatkan TPA itu untuk membuang sampah di lingkungan mereka. Ia pun mengklaim TPA itu mampu menampung sampah di Kabupaten Banjarnegara dengan luasan lahan yang cukup.
Hanya pihaknya tetap berharap, muncul kelompok-kelompok masyarakat seperti BUMDes Maju Bersama Klampok yang mampu memroses sampah di tempatnya masing-masing. Ini tentu bisa mengurangi beban sampah di TPA. Lebih-lebih meningkatkan kesejahteraan warga.
“Kami berharap banyak muncul kelompok masyarakat seperti Klampok yang mana bisa membantu masyarakat secara ekonomi juga,”katanya