Buleleng, Kabupaten ''BUMDes'' di Bali
Dari 121 BUMDes pada tahun lalu, omset BUMDes se-Kabupaten Buleleng mencapai Rp60,9 miliar dengan laba Rp11,2 miliar. Serapan tenaga kerjanya mencapai 761 orang pekerja.
Dalam soal membangun usaha desa, kabupaten lain di nusantara boleh cemburu dengan Buleleng. Ada 129 desa di kabupaten yang terletak di bagian paling utara Provinsi Bali itu. Dari angka itu, hanya delapan desa saja yang belum berdiri Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes. Sebanyak 121 lainnya, atau 93,8 persen, kini bergerak dengan bermacam usaha.
Desa-desa itu sangat produktif. Pada akhir 2019, BUMDes di sekujur Buleleng mencatat omset Rp60,9 miliar. Labanya juga lumayan: Rp11,2 miliar, dengan kontribusi BUMDes pada keuangan desa sebanyak Rp 1,74 miliar. Tentu saja unit usaha itu membawa rahmat lainnya, yaitu lapangan kerja. Seluruh BUMDes di Buleleng berhasil menyerap 761 orang pekerja.
BUMDes Teja Kusuma Desa Tejakula boleh jadi yang terbanyak memberi rezeki. Ada lima unit usaha yang dikelola yakni, unit usaha simpan pinjam, pengelolaan sampah, pertokoan, pasar desa, serta jasa.
Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana punya harapan besar terhadap BUMDes di kabupatennya. “Kami harapkan BUMDes bisa mengurangi ketimpangan antara kawasan pedesaan dengan perkotaan,” ujarnya, akhir Agustus lalu. Meskipun ketimpangan itu belum terlalu signifikan, kata Agus, tapi dengan usaha di desa, jurang itu bisa diperkecil.
Sebetulnya semua desa di Buleleng akan memiliki BUMDes pada tahun ini, termasuk delapan desa yang tertunda pembentukan badan usahanya akibat pandemi korona. Delapan desa itu adalah Desa Banyupoh di Kecamatan Gerokgak, Desa Gunungsari di Kecamatan Seririt, Desa Busungbiu dan Desa Pelapuan di Kecamatan Busungbiu, Desa Kaliasem dan Desa Gesing di Kecamatan Banjar, Desa Gitgit di Kecamatan Sukasada, dan Desa Suwug di Kecamatan Sawan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Buleleng Nyoman Agus Jaya Sumpena mengatakan, pandemi memaksa semua desa itu mengalihkan anggaran belanja mereka. “Dana yang tadinya untuk penyertaan modal, dialihkan untuk penanggulangan covid dan BLT,” kata Jaya Sumpena, akhir pekan ketiga Agustus lalu.
Meski diterpa pandemi, kinerja BUMDes di Buleleng berjalan normal. Jenis usaha mereka memang tak terdampak langsung, semisal simpan pinjam, layanan dan pengolahan sampah, layanan air minum, pertokoan, pasar desa, usaha penyewaan, dan bidang jasa non pariwisata. Kecuali desa-desa yang mengandalkan usaha pariwisata, bisnis mereka surut drastis.
Momentum GSM
Di Buleleng, pembentukan BUMDes sebenarnya sudah dimulai sejak 2002 silam. Pada mulanya adalah Desa Sumberklampok di Kecamatan Gerokgak. Desa itu membentuk badan pengelola pelayanan air bersih. Belakangan, usaha itu digarap makin serius, dan badan pengelola berubah menjadi BUMDes.
Langkah itu lalu diikuti oleh sejumlah desa lainnya, mereka terus mengembangkan unit usaha. Terlebih pada 2004, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sandaran legal makin kuat, terutama pasal 213 ayat 1 di undang-undang itu, menyatakan desa dapat mendirikan badan usaha milik desa, sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki.
Upaya itu mendapat momentum bagus ketika program Gerakan Pembangunan Desa Terpadu Bali Mandara atau dikenal Gerbang Sadu Mandara alias Program GSM pada 2012. Program itu bertujuan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan. Desa yang masuk daftar layak menerima bantuan pun mendapat kucuran uang. Besaran dana mencapai Rp1 miliar lebih, tergantung dari kondisi masing-masing desa.
Pada awal Program GSM digalakkan, Pemda menyasar desa-desa yang memiliki tingkat kemiskinan di atas 35 persen. Setelah disahkannya Undang-Undang Desa, pada 2015 Pemda Bali mengubah standar desa penerima program GSM, yaitu desa dengan tingkat kemiskinan 25 persen. Bantuan Rp1 miliar itu diarahkan sebanyak 80 persen bagi usaha ekonomi produktif. Sisanya untuk sarana prasarana pedesaan.
Dalam kurun 2012 hingga 2016, pemerintah provinsi memberikan bantuan stimulan sebesar Rp 1,02 miliar kepada desa untuk penguatan ekonomi. Total ada 79 desa yang menerima bantuan stimulan itu. Saat menerima bantuan, seluruh desa lebih memilih membuka badan usaha di bidang simpan pinjam.
Seiring dengan terbitnya Undang-Undang Desa, badan usaha yang tadinya mengelola unit usaha simpan pinjam, berubah menjadi BUMDes. Desa bersama pengelola BUMDes pun berusaha makin inovatif dalam mengelola potensi desa.
Bupati Agus Suradnyana mengatakan, dengan terbitnya Permendesa Nomor 4 Tahun 2015, desa dapat melakukan percepatan pembangunan. BUMdes pun menjadi salah satu motor penggerak. Menurutnya kepala desa dan pengelola BUMDes dapat menggali potensi di desa mereka. “Sebab mereka lebih dekat, jadi mereka lebih paham potensinya, dan keunggulan daerahnya. Karena makin dekat, orang akan semakin tajam lihat potensinya,” kata Agus.
Pandemi dan peluang pasar
Bisnis pariwisata di Bali rontok selama pandemi Covid-19. Selama ini, pusat industri wisata Bali berada di wilayah selatan Bali atau wilayah Denpasar dan sekitarnya. Jika sebelum pandemi, banyak warga dari utara Bali atau dari Buleleng tersedot ke wilayah selatan, kini yang terjadi adalah sebaliknya. Mandeknya usaha pariwisata membuat mereka balik lagi ke kampung masing-masing.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Ganesha (FE Undiksha), I Nengah Suarmanayasa mengatakan, selama masa pandemi ini BUMDes memiliki potensi yang cukup besar. Penyebabnya, banyak para perantau yang bermukim di Bali Selatan, memilih pulang kampung. Para perantau itu, tadinya menggantungkan hidup di sektor pariwisata. “Mereka yang pulang kampung ini bisa menjadi pangsa pasar baru bagi BUMDes. Lebih baik lagi mereka dilibatkan untuk membangun BUMDes. Sebab BUMDes ini pasarnya kan jelas, pasar utamanya masyarakat desa,” kata Suarmanayasa yang akrab disapa Arman, akhir Agustus lalu.
Saat ini, kata Arman, BUMDes lebih banyak berorientasi pada unit usaha simpan pinjam. Khusus di Bali. Ini menjadi masalah tersendiri. Penyebabnya, jauh sebelum BUMDes berdiri, desa adat di Bali telah memiliki unit usaha mikro di desa adat. Unit usaha ini bergerak di bidang usaha simpan pinjam. Unit usaha itu disebut Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Arman menilai desa membutuhkan sumber daya manusia yang serius membangun desa. Masalahnya di Kabupaten Buleleng, desa bukan menjadi pilihan utama. Kebanyakan SDM unggul memilih merantau ke Kabupaten Badung atau Kota Denpasar. Kalau toh ada yang bertahan di Buleleng, mereka cenderung bertahan karena keterpaksaan adat.
“Tantangan utama BUMDes itu SDM, dan itu luas sekali bidangnya. Dibutuhkan komitmen untuk menjadikan BUMDes sebagai pilihan utama mensejahterakan desa dan masyarakat di desa,” katanya.
Pada masa pandemi korona ini, Arman menilai, BUMDes masih memiliki peluang dalam memasarkan produk. Kepala desa memiliki kewenangan memaksa masyarakat desa menyerap produk BUMDes. Tapi upaya itu cenderung menjadi solusi jangka pendek. Untuk jangka panjang, Arman mengusulkan agar BUMDes membenahi kualitas produk mereka. Misalnya, melakukan perbaikan kemasan.
Pada umumnya banyak produk yang sama di pasar, yang membedakannya adalah kualitas dan kemasan. “Pengemasan harus ditingkatkan agar menarik, sehingga produk dapat memuaskan konsumen,” ujar Arman.