BUMDes

Budi Arie Setiadi: Regulasi BUMDes butuh gebrakan hukum

Ia menolak sebutan adanya 2.188 BUMDes dari sekujur negeri yang digolongkan “mangkrak”. Menurut Budi, BUMDes masih punya banyak kendala, termasuk status hukumnya sebagai entitas bisnis.

Islahuddin
Budi Arie Setiadi: Regulasi BUMDes butuh gebrakan hukum
Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi berfose untuk Lokadata di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Jalan TMP Kalibata, Jakarta Selatan pada Senin (10/08/2020). Andreas Imanuel / Lokadata

Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi punya cara sendiri menakar sukses BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Dia menyebut tiga hal penting untuk melihat sebuah BUMDes itu layak disebut maju atau tidak. Badan usaha itu disebut maju jika, “Pertama, ada anak muda. Kedua, SDM yang kreatif dan inovatif, dan ketiga, partisipasi warga.”

Dia menolak sebutan adanya 2.188 BUMDes dari sekujur negeri yang digolongkan “mangkrak”. Menurut Budi, BUMDes masih punya banyak kendala, termasuk status hukumnya sebagai entitas bisnis. Itu sebabnya, kata Budi, Kemendes butuh gebrakan hukum menata kembali regulasi badan usaha desa agar bisa setara dengan entitas bisnis lain. Setidaknya BUMDes dapat diterima oleh industri keuangan untuk pengembangan modal dan usaha.

Di tengah pandemi Covid-19, tantangan membangun desa kian berat. Ekonomi berjalan lambat, bahkan ada yang mandek. Desa tetap berupaya bergerak dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Lalu bagaimana usaha desa bersiasat dalam keadaan terbatas? Berikut petikan wawancara Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi saat ditemui Islahuddin bersama juru foto Andreas Imanuel dari Lokadata di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Jalan TMP Kalibata, Jakarta Selatan pada Senin (10/08/2020):

Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi.
Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi. Andreas Imanuel / Lokadata

Pada Desember 2019, sebelum Indonesia dilanda pandemi, Presiden menyebutkan ada sekitar 2.188 BUMDes yang mangkrak. Sebetulnya apa yang terjadi?

BUMDes adalah amanat Undang-Undang Desa, sehingga masing-masing desa bisa mendirikannya. Harus diakui status hukum BUMDes saat ini perlu ada terobosan. Dalam entitas bisnis kita mengenal Perseroan Terbatas, CV, Koperasi, dan Yayasan untuk kegiatan non profit. BUMDes ini belum kompatibel dengan sistem perdagangan yang berlaku saat ini. Dengan terobosan hukum ini, kita berharap BUMDes bisa kerjasama dengan entitas-entitas bisnis itu.

Data kita sekarang ada sekitar 45 ribu BUMDes, masih cukup banyak yang tidak berjalan. Tolong jangan gunakan istilah mangkrak. Begini. BUMDes ini amanat UU Desa, nah masalahnya masih banyak desa yang belum punya inisiatif dan prakarsa memajukan BUMDes masing-masing. Itu yang akan kita dorong lebih lanjut.

Harus diakui, BUMDes ini barang baru dalam ekosistem sosial ekonomi desa. Ini terus perlu sosialisasi, internalisasi, pengalaman bersama, semangat gotong royong di tingkat desa. Iya barang baru, tapi bukan berarti tidak ada BUMDes yang bagus, yang berhasil juga banyak, namun tingkat kemajuannya tidak merata.

Ada tiga hal untuk mengetahui desa itu maju atau tidak. Pertama, ada anak muda. Kedua, SDM yang kreatif dan inovatif. Ketiga, ada partisipasi warga. Kalau desa punya itu, berarti desa itu maju

Berapa jumlah BUMDes yang aktif saat ini dan bidang apa saja ya?

Ini barang baru, jadi perlu ada internalisasi di masyarakat desa. Harus ada pemahaman bersama. Jadi kita jangan tergesa-gesa. Sampai saat ini saja alat ukurnya saja belum solid. BUMDes itu berhasil atau tidak apa ukurannya? Apakah hanya karena usahanya untung besar saja? Tidak juga. Ia harus memberi manfaat bagi masyarakat desa.

Saat ini kita masih mendiskusikan dengan banyak pihak termasuk teman-teman di LPM UI untuk membuat kerangka solid pengukuran keberhasilan BUMDes. Masih ada perdebatan filosofis di level atasnya. Dalam pengertian, apakah BUMDes itu corporatism, perusahaan atau corporatism, koperasi. Jadi jangan tergesa-gesa.

Juga ada unsur alamiah juga ada unsur drive dari banyak pihak. Kalau masyarakatnya tidak ada inisiatif untuk membangun BUMDes dan merasa tidak menguntung mereka, untuk apa?

Namun tetap, desa yang memiliki BUMDes yang maju itu, seperti yang saya sebut tadi, pasti desa itu memiliki anak muda, SDM yang kreatif dan inovatif, dan partisipasi aktif warga desa itu sendiri. Kalau itu tidak ada, maka tidak bakal kontinyu.

Menteri Desa pernah menyebut akan ada standarisasi BUMDes agar ramah industri keuangan?

Digitalisasi itu adalah keniscayaan. Cara mentransformasi Indonesia maju itu dengan melakukan digitalisasi ekonomi desa. Digitalisasi ekonomi desa apa? Dengan membuat ekosistem baru di mana digital menjadi tools-nya. Ada tiga yang penting di sana, satu infrastruktur digitalnya harus mendukung, kita masih ada 12.500 desa yang belum dialiri listrik. Baru kemudian kita bicara logistik, transportasinya. Kita ini negara kepulauan, kita mungkin satu-satunya negara di dunia untuk pengiriman barang sampai menggunakan tiga moda transportasi ke berbagai wilayah Indonesia. Ketiga adalah platform-nya.

Jadi ketiga itu harus ada. Jadi desa digital itu kriterianya harus memberi perubahan dan mindset baru kepada warga desa, karena desa digital itu nanti akan mensyaratkan bisa untuk e-commerce, e-learning, e-government, e-health dan semua itu dalam satu ekosistem digital termasuk di desa.

Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi.
Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi. Andreas Imanuel / Lokadata

Seperti apa BUMDes yang ramah dengan industri keuangan?

Hal ini harus kita sama-sama dorong dan samakan perspektifnya, masyarakat dan warga desa ini juga didukung oleh lembaga keuangan. Bisa include dengan lembaga keuangan kita nanti akan buat formulasi bersama dengan lembaga keuangan itu sendiri. Di sana ada standarisasi di dalamnya, mulai dari administrasi keuangan, pemasaran, sisi produksinya juga.

Ada tiga kata kuncinya, kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Barang-barang desa bagus, tapi masuk tidak dari tiga hal itu. Kalau kami ditanya kapan itu akan diluncurkan, saat ini kami sedang rumuskan, kalau bisa secepatnya. Sebab saat ini sudah ada model-model BUMDes yang berhasil.

Apakah mungkin melibatkan pihak ketiga atau swasta dalam BUMDes?

Ini bukan masalah mungkin atau tidak, tapi malah harus. Indonesia ini negara besar. Ada 74.953 desa dan itu tentu saja memerlukan banyak partisipasi dari semua stakeholder, semua pihak berkepentingan, termasuk pelibatan pihak swasta dalam kerjasama. Kita percaya, kalau kerjasama berlangsung dengan baik sustainabilitasnya akan terjaga.

Kita tidak mau hit and run. Tahun ini jalan, tahun depannya lagi tidak jalan. Kalau berkelanjutan, semuanya saling membutuhkan, maka itu akan menggerakkan perekonomian di desa.

Saat ini kita banyak kerjasama dengan marketplace. Nanti kita akan buat yang lebih komprehensif dan lebih menguntungkan. Sekarang isunya bukan lagi perdagangan bebas, tapi perdagangan yang adil.

Bagaimana langkah pemerintah memajukan ekonomi desa dan BUMDes dalam ranah digital? Apakah melalui peraturan semata atau akan ada stimulus?

Cara melihatnya harus beda ketika BUMDes akan digitalisasi. Jangan dilihat BUMDes dikompetisikan dengan e-commerce, tapi mengintegrasikan. Integrasi itu begini, produk desa itu kan bagus-bagus, bagaimana caranya produknya bisa dipasarkan ke kota.

Apakah dia akan bersaing dengan e-commerce yang besar-besar itu, kan tidak. Isu besarnya integrasi, bukan head to head. Itu biarin saja antar e-commerce yang head to head. Intinya desa bisa memasarkan produknya ke pasar yang lebih luas dan terbuka. Dengan digitalisasi, desa dan BUMDes bisa akses pasar terbuka itu, bisa akses ke e-commerce, bisa juga menuju pasar ekspor. Ini jangan diadu. Ini bukan kompetisi antara desa dan e-commerce, membacanya bukan begitu.

Bahkan saat ini sudah banyak teman-teman di desa yang bikin sistem sendiri, e-commerce yang lebih lokal. Tapi ada yang nanya, kenapa tidak bikin yang khusus untuk desa dan BUMDes? Saya bilang sekarang raksasa perdagangan digital banyak. Contoh di Provinsi Riau ada yang bikin e-commerce sendiri, daerah lainnya juga bikin, banyak itu jumlahnya. Tidak apa-apa, banyak marketplace dan e-commerce, cita rasa lokal malah lebih bagus buat saya. Dari sana nanti akan terbentuk integrasinya seperti apa dan bagaimana keberlanjutannya.

Apa rencana Kemendes dalam pembangunan ekonomi desa dalam masa pandemi Covid-19?

Pandemi ini masalah global. Jika kita lihat data saat ini, dampaknya ke desa saat ini lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang di perkotaan. Dari sekitar 120 ribuan yang positif, di desa yang kena kurang dari 1 persen atau 900 orang seribuan orang. Ini bisa dikatakan, desa relatif lebih aman dari penyebaran virus Covid-19.

Capaian itu menurut kami, karena disiplinnya warga desa. Kita bersyukur atas hal itu, kita juga berterima kasih juga kepada seluruh masyarakat desa dan segenap pemerintah desa, tim pendamping kami, tokoh masyarakat yang sama-sama menjaga kedisiplinan warga desa. Mereka lebih disiplin, aware, solid, kompak dan gotong royong dalam menanggulangi penularan dan penyebaran Covid-19 ini.

Presiden Joko Widodo sudah menetapkan ancaman terbesar Covid-19 saat ini adalah krisis pangan. Ini juga menjadi masalah global. Sehingga konsentrasi arahan pembangunan di desa adalah bagaimana menjadikan wilayah di desa menjadi wilayah produktif, khususnya untuk tanaman pangan. Kita tahu pertanian itu semuanya ada di desa. Bahkan banyak negara dunia melarang ekspor keluar negaranya untuk tanaman pangan. Inilah tantangan kita sebagai bangsa, kita harus bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Itulah kenapa peran desa menjadi penting dan strategis.

Stimulus ekonomi seperti apa yang ingin dijalankan?

Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, ada Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa dan itu sudah tersalur ke desa. Berikutnya adalah Program Padat Karya Tunai Desa (PKDT). Di mana uang yang diberikan bisa digunakan secara produktif dan padat karya itu agar masyarakat desa memiliki uang dan pendapatan sehingga bisa menggerakkan roda perekonomian.

Dampak dana desa terhadap perekonomian desa?

Yang pasti dampaknya, ada kemajuan dari sebelumnya. Prinsip dana desa itu adalah instrumen distribusi keadilan sosial. Semua desa di Indonesia yang jumlahnya saya sebut di atas tadi, diberi kesempatan yang sama untuk maju. Diberi kesempatan dalam konteks politik anggaran, diberi dana yang relatif sama dengan desa-desa yang lainnya.

Soal percepatannya tergantung dan kembali ke pemerintah desa, warga desa, prakarsa-prakarsa yang muncul dari para pemangku kepentingan desa. Desa yang ada anak mudahnya, punya SDM yang kreatif dan inovatif, serta ada partisipasi warga, pasti desa itu cepat maju.

Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi.
Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi. Andreas Imanuel / Lokadata

BPS melansir jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang. Dari angka itu 15,26 juta berada di desa, dan sisanya di kota. Kemiskinan tampaknya masih besar di desa?

Iya dong, bahkan sebelum Covid-19 tingkat kemiskinan di kota hanya tiga persen di desa hampir 12-14 persen. Sejak awal kita sadar, konsensi Presiden Joko Widodo ingin membangun dari pinggiran, termasuk desa itu sendiri. Selama ini sentra pembangunan bukan di desa, tapi kawasan tengah dan kota.

Desa dan wilayah ini hanya pinggiran. Sejak 2014 Presiden mengubah konsensi itu. Arah pembangunan dimulai dari pinggiran dari desa-desa. Politik anggarannya tercermin dari kebijakan penyaluran Dana Desa. Semua desa di Indonesia memiliki kesempatan sama untuk maju dan berkembang sesuai potensinya masing-masing. kebijakan ini harus kita dukung, karena kita percaya dan yakin kalau desa maju, Indonesia maju. Tidak mungkin Indonesia maju kalau desanya tertinggal. Sekarang masih ada 20 ribu lebih desa dengan status tertinggal dan sangat tertinggal di Indonesia.

Pemerintah selalu mengklaim serapan Dana Desa meningkat setiap tahun. Dari 2015 sampai 2019, serapannya berkisar 80-99 persen?

Itu pasti terkait serapan anggaran, karena transfer Kementerian Keuangan ke rekening Pemerintah Desa saat ini. Setelah itu tergantung pemerintah desanya, mau dibelanjakan seperti apa.

Tapi mengapa saat pandemi Covid-19 malah penyaluran Dana Desa tanpa melalui rekening pemerintah kabupaten?

Bukan itu, kita merasa pemerintah desa ini diberikan kesempatan, sehingga langsung ditransfer oleh Kementerian Keuangan tanpa melalui rekening Pemerintah Kabupaten. Selama ini mungkin karena ada tumpang tindih, terlalu lama, oleh Bupati atau kabupatennya yang kurang punya visi hingga dana desanya ditahan-tahan hingga tidak ada kemajuan. Lebih baik langsung ditransfer ke rekening pemerintah desa. Itu kan ada bagusnya juga.

Kita banyak contoh terkait hal itu. Saya tidak mau menyebut nama bupati dan kabupatennya. Banyak Dana Desa-nya yang ditahan, tidak disalurkan dimainkan oleh oknum-oknum Bupati dan kepala daerah. Cuma Bupati atau kepala daerah yang progresif, baik, dan kerja benar pasti memajukan desanya.

Ada isu dan spekulasi, menjelang Pilkada 2020, sejumlah kabupaten “sengaja” meningkatkan jumlah penderita Covid-19 di wilayahnya untuk mendapatkan dana lebih besar?

Ah, itu isu saja.

Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi.
Wakil Menteri Desa Budi Arie Setiadi. Andreas Imanuel / Lokadata

KPK bahkan turun tangan dalam hal pengawasan Dana Desa saat ini. Apakah kondisinya begitu genting?

Begini, dalam krisis kesehatan pandemi Covid-19 ini, jangan sampai pihak-pihak yang diberi amanat itu menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Jangan dipikir bantuan untuk Covid-19 ini atau program saat ini kebal hukum. Kalau salah ya tetap salah.

Kebijakannya tidak dipidanakan, tapi praktek-praktek yang menyimpang terhadap moral hazard akan berurusan langsung dengan aparat hukum.

Bagaimana dengan alasan darurat dalam penggunaannya?

Darurat itu sifatnya, bukan berarti penyalurannya jadi darurat kan? Prinsipnya itu cepat, tepat, akuntabel, dan transparan. Jadi jangan asal bilang darurat. Darurat itu, tidak hanya cepat dan tepat, terus akuntabel dan transparan dihilangkan, ya tidak bisa.

Bukan berarti darurat itu semuanya boleh dilakukan, ya tidak bisa. Tidak ada alasan dengan kedaruratan itu. Bukan asal cepat-cepat saja.

Anggaran dana desa selalu meningkat setiap tahun. Ada target hingga berapa untuk memajukan desa?

Itu pasti, tapi untuk berapanya itu tergantung Presiden. Yang pasti kita akan terus evaluasi Dana Desa, karena dalam jangka panjang, kalau tidak ada formula lain. Saat ini Dana Desa relatif sama untuk semua desa. Namun kok ada desa yang maju dan yang tidak.

Persoalannya titik berangkatnya sama apa tidak masing-masing desa itu. Kita harus hitung. Misalnya, desa yang tertinggal, dulu jalanannya rusak, SDM-nya tidak ada. Sedangkan desa yang maju saat ini, awalnya jalannya memang sudah bagus, warga dan SDM nya kreatif, begitu diberikan Dana Desa langsung bisa berlari cepat dan maju.

Hal seperti itu perlu kita pisah dulu, jangan cepat-cepat dalam mengambil kesimpulan, kalau tidak paham betul problemnya secara detail. Karena 74 ribuan desa itu ada 74 ribuan kearifan lokal, punya problem dan tantangannya sendiri. Jangan berpikir seperti sebelumnya, semua dipukul rata pakai program, ini tidak. Setiap desa punya karakteristik termasuk budaya, potensinya, dan yang lainnya. Jadi cara lihatnya, ada 74 ribuan potensi, 74 ribuan tantangan, 74 ribuan karakteristik. Jadi jangan main hantam pukul rata begitu, nggak bisa.

Tantangannya beda, seperti ada desa di Papua, dari 27 kabupaten dan ada satu desa yang isinya 10-50 keluarga. Terus jarak antar rumah jaraknya ekstrim jauh-jauh dan mereka belum punya listrik sampai sekarang. Desa yang seperti itu tantangannya beda, sekali lagi jangan digeneralisir.

Masih ada desa yang belum mendapatkan anggaran Dana Desa masa Covid-19?

Tidak ada itu, tidak ada kendala. Dana Desa itu skemanya sendiri, berbeda dengan dana dari Kementerian Sosial, tidak ada tumpang tindih. Prinsipnya dan konsepnya itu jaring pengaman sosial. Penerima BLT Dana Desa itu yang belum menerima bantuan PKH (Program Keluarga Harapan) dari Kementerian Sosial, bukan penerima bantuan-bantuan sosial lainnya, nah itu yang dijaga sama BLT Dana Desa.

Ada berlapis-lapis coveringnya, itu bukan tumpang tindih. Kalau ada yang bilang tumpang tindih, dia tidak mengerti masalah di lapangan. Makanya saya himbau, agar penerima BLT Dana Desa ditempelkan di desa-desa, supaya ketahuan. Ibaratnya gini, misal ada satu desa 600 kepala keluarga, sudah dapat PKH, tapi masih ada kekurangan, sehingga perlu dibantu, nah itu pakai skema BLT Dana Desa.

BIODATA

  • Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 20 April 1969
  • Kewarganegaraan: Indonesia
  • Status Perkawinan: Menikah

Pendidikan:

  • S2 - Magister Manajemen Pembangunan Sosial (Universitas Indonesia)
  • S1 - Sarjana Ilmu Komunikasi (Universitas Indonesia)

Riwayat Pekerjaan :

  • Direktur Utama PT Mitra Lumina Indonesia (2011-2014)
  • Direktur PT Sarana Global Informasi (2009-2014)
  • Direktur Utama NKR Investama (2009-2014)
  • Direktur PT Daya Mandiri (2010-2014)
  • Pemimpin Umum Tabloid Bangsa (2008-2009)
  • Direktur Utama PT Mandiri Telekomunikasi Utama (2001-2009)
  • Wartawan dan Redaksi Minguan Kontan (1996-2001)
  • Wartawan Media Indonesia Minggu (1994-1996)

Riwayat Organisasi :

  • Dewan Penasehat ILUNI UI (2016-2019)
  • Ketua Umum DPP PROJO (2014-Sekarang)
  • Koordinator Nasional Relawan PROJO (2013-2014)
  • Ketua Balitbang PDI Perjuangan DKI (2005-2010)
  • Wakil Ketua PDI Perjuangan DKI (2005-2010)
  • Ketua ILUNI UI Jakarta (1998-2001)
  • Ketua Presidium Gerakan Sarjana Jakarta (1998-2000)
  • Pendiri dan Presidium Masyarakat Profesional Indonesia (1998-1999)
  • Pendiri Harian "Bergerak" (1998)
  • Pendiri Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI), (1998)
  • Presidium Senat Mahasiswa UI (1994-1995)
  • Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP UI (1994-1995)
  • Redaksi Pelaksana Suara Mahasiswa UI (1993-1994)
  • Ketua Forum Studi Mahasiswa UI (1992-1993)

Buku dan karya tulis:

  • Menjemput Takdir Sejarah (2015)
  • Berubah Demo Rakyat (2004)
  • Tulisan di berbagai majalah dan media cetak

Baca Lainnya