Menengok ''desa kaya'' di Gresik, Jawa Timur
Dulu dikenal sebagai desa kumuh. Langganan banjir saban tahun dan dipandang sebelah mata.
Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur mampu meningkatkan ekonomi desanya dengan menyulap bekas galian kapur menjadi kawasan wisata. Investornya warga desa sendiri. Dari usaha wisata itu pemasukan desa pelan-pelan meningkat.
Pada 2018 Pendapatan Asli Desa (PADes) Desa Sekapuk kisaran Rp575,7 juta. Kemudian naik pada 2019 menjadi Rp929 juta dan hingga Oktober 2020 mencapai Rp1,4 miliar. PADes itu menyumbang 68 persen keuangan desa. Selebihnya dana Bagi Hasil Pajak (BHP) 3 persen, Alokasi Dana Desa (ADD) 7 persen dan Dana Desa (DD) sebesar 22 persen.
Tak ada yang mengira Pendapatan Asli Desa Sekapuk di Kabupaten Gresik bakal sebanyak itu. Dulu desa itu dikenal kumuh. Langganan banjir saban tahun dan dipandang sebelah mata.
Dengan PAD yang terus meningkat, selain untuk operasional dan pengembangan usaha, pendapatan desa itu dikonversi menjadi fasilitas kendaraan dinas aparatur desa. Mobil dinas kepala desanya Toyota Alphard, kendaraan dinas BUMDes jenis Xpander, dan untuk PKK dibelikan Nissan matic.
Menurut Kepala Desa Sekapuk Abdul Halim, 39 tahun, butuh waktu setahun untuk proses pembangunan desa wisata ini menjadi seperti sekarang. Desa bergerak mandiri tanpa bantuan pemerintah daerah maupun bantuan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. “Semuanya hasil dari patungan warga dan pemerintah desa,” katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis, (15/10/2020).
Kemajuan Desa Sekapuk tak lepas dari peran pemerintah desa dan warganya mengembangkan lokasi wisata Selo Tirto Giri (Setigi). Bersama warga bergotong-royong mengembangkan wisata bekas galian tambang kapur.
Desa Sekapuk dikenal memiliki banyak bekas galian tambang batu kapur yang terbengkalai. Kemudian bekas-bekas tambang itu dikelola menjadi wahana destinasi wisata menarik dengan cara patungan antara warga dan pemerintah desa.
Konsep wisata Setigi menjual nuansa alam buatan karena memang banyak tebing menjulang sisa-sisa galian tambang. Agar lebih menarik, kemudian dilengkapi dengan ornamen pahatan, ada Patung Gupala, Duarapala, Candi Topeng Nusantara, dan Patung Semar.
Lalu ada juga miniatur Masjid Persia dan Madinah, kemudian rumah apung hingga patung Begawan. Banyak pengunjung wisata Setigi memamerkan suasana dan pemandangan melalui media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan yang lainnya.
Terbaru bakal ada wahana kolam renang Banyu Gentong yang akan menyajikan tiga warna air. Selain itu Setigi juga akan menyediakan pemandian khusus perempuan dewasa. Pemandian syar’i dengan syarat menutupi aurat dan berhijab.
“Wisata ini kami bangun sejak tahun kedua saya menjadi kepala desa dengan tema peradaban. Pembangunannya memakan waktu hampir 10 bulan. Kemudian resmi kita buka tahun 2019,” ujar Abdul Halim.
Konsep wisata itu ternyata bisa diterima warga dan masyarakat di luar desa. Dalam catatan Halim, jumlah pengunjung rata-rata 28 ribu per bulan. Dengan rerata pengunjung yang terus naik itu, pemerintah desa dan warga kemudian merekrut tenaga-tenaga baru (pekerja). Sekarang sebanyak 175 pemuda dipekerjakan dan terlibat langsung mengelola aset desa tersebut.
Adapun biaya masuk pengunjung per orang mencapai Rp15.000. Sedangkan tarif parkirnya, Rp5.000 untuk sepeda motor dan Rp10.000 untuk mobil.
Namun pada awal masa pandemi Covid-19 lalu operasional wisata sempat berhenti total selama dua bulan, mulai Maret sampai April. Beberapa pekerja juga harus dirumahkan lebih dulu karena tidak ada aktifitas pengunjung di sana.
Kini sektor wisata mulai dikembalikan pada posisinya lagi sebagai sumber keuangan desa. Sejak Mei lokasi wisata dibuka kembali namun dengan aturan protokol kesehatan ketat. “Alhamdulillah pelan-pelan sekarang kondisinya mulai pulih,” kata Halim menegaskan.
Warga desa menjadi investor
Kades Sekapuk Abdul Halim mengatakan keberhasilan pembangunan wisata yang dikelola BUMDes sudah semestinya masyarakat ikut merasakan. Karena itu pihaknya melibatkan warganya tidak sekadar menjadi tenaga kerja. Melainkan menjadi pemilik langsung melalui investor masyarakat.
“Daripada mencari investor dari luar, warga tidak akan untung. Karena itu saya berpikir bagaimana wisata ini dampak keberhasilannya terasa kepada masyarakat. Jadi terbentuklah inovasi investasi melalui tabungan,” jelasnya.
Menyulap bekas tambang galian kapur menjadi destinasi wisata membutuhkan persetujuan warga. Baik dari sisi konsep hingga pendanaannya. Melalui BUMDes dana patungan warga dikumpulkan dan dikonversi menjadi saham.
Namun pemegang saham terbanyak bukanlah pemerintah desa, melainkan warga desa. Prosentase kepemilikan saham, 60 persen warga sementara sisanya 40 persen pemerintah desa. Warga pemilik saham usaha itu setiap tahun akan menerima pembagian dividen (laba usaha).
Salah satu warga Desa Sekapuk Nurhadi, 38 tahun, mengatakan kemajuan desanya sangat dirasakan. Utamanya terkait kehadiran wisata Setigi. Apalagi investor terbesar adalah warga sendiri. Jadi semua keuntungan akan kembali ke masyarakat.
“Sistemnya itu kan tabungan biasa kayak nabung di sekolahan. Per hari warga ditarik sebesar Rp8.000. Berarti satu bulan terkumpul senilai Rp200 ribu. Uang itu dikoordinir Rukun Tetangga (RT) kemudian dikumpulkan ke BUMDes,” kata Nurhadi.
Warga yang menabung dan tidak mengambil uangnya selama setahun, akan dimasukkan sebagai jenis investasi. Sebagai gantinya Pemdes Sekapuk akan memberikan surat saham kepada warga yang bersangkutan. Surat saham itu nantinya bisa mencairkan dana hasil pendapatan laba wisata. Pembagiannya 60 persen untuk warga dan 40 persen untuk BUMDes.
“Sedangkan bagi warga yang mengambil uangnya, berarti tidak mendapatkan surat saham. Dia tidak dihitung sebagai investor. Mereka hanya menabung saja,” tambah Nurhadi lebih lanjut.
Semula Pemdes Sekapuk membuat peraturan satu Kepala Keluarga (KK) hanya boleh membuka satu rekening tabungan. Namun seiring waktu, kesadaran warga untuk menabung semakin sedikit jumlahnya. Kemudian per KK diperbolehkan membuka tabungan lebih dari satu dan maksimal sebanyak sepuluh rekening tabungan.
Nurhadi sendiri tidak mau ketinggalan kesempatan. Ia membuka empat tabungan sekaligus. Dengan nilai satu tabungan per bulan sebesar Rp200 ribu atau Rp2,4 juta dalam setahun. Dia yakin semakin banyak tabungan yang dibuka, saat pembagian laba usaha akan semakin besar yang didapatkan.
“Mungkin saat ini belum bisa menikmati hasilnya, karena wisata baru berdiri belum sampai setahun. Saya sendiri mulai menabung sejak awal 2019 lalu. Jadi alhamdulillah adanya wisata ini juga meningkatkan ekonomi warga,” terangnya.
Hingga saat ini, Pemdes Sekapuk sudah menutup investor. Totalnya sebanyak 420 KK yang berpartisipasi menitipkan uangnya untuk diinvestasikan.
Sedangkan terkait transparansi anggaran, Halim mengkomodasinya melalui rapat bulanan warga di masing-masing RT. Dalam forum itu dibahas pelaporan dana dan perkembangan wisata. Di dalamnya warga berhak mempertanyakan jika ada kejanggalan.
Ditanya soal peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait setiap pengumpulan dana publik harus berizin, Halim menjelaskan tentang peranan BUMDes. Menurutnya, inovasi yang diterapkan sangat mengedukasi masyarakat yakni, berinvestasi melalui tabungan.
"Kalau semua harus berizin ke OJK kan repot, di mana peranan BUMDes. Saya tidak menyalahkan peraturannya, tapi harus kita kaji lagi, kalau pengumpulan dana publik diorganisir dari individu atau perusahaan wajib dipertanyakan. Ini kan yang melakukan BUMDes, semua masyarakat bisa mengaudit jika ada kesalahan," ujarnya.
Saat hal ini konfirmasi ke pihak OJK, Deputi Komisioner Humas dan Logistik Anto Prabowo mengatakan hal itu bukan ranah OJK. “Kalau BUMDes tidak diawasi OJK, lebih pada ke Kementerian Desa PDTT,” kata Anto Prabowo kepada Islahuddin dari Lokadata, Rabu (11/11/2020).
Hal berbeda diungkapkan Wakil Menteri Desa PDTT Budi Arie Setiadi saat dihubungi secara terpisah. Menurut Budi, meskipun BUMDes memiliki badan hukum, maka tidak otomatis menjadi badan hukum lembaga keuangan.
“Jika ingin menjadi badan hukum lembaga keuangan harus mendapat izin OJK. Perjanjian investasi atau apapun itu ranah OJK,” kata ujar Budi kepada Lokadata, Senin (16/11/2020).
Lebih lanjut Budi menjelaskan, setiap pelibatan penggunaan dana masyarakat dalam bentuk investasi harus dan wajib diawasi OJK, “Kita harus mengantisipasi dan melindungi warga agar dana miliknya bisa terlindungi.”
Status Desa Mandiri
Tahun ini Sekapuk masuk dalam kategori desa mandiri dengan Indeks Desa Membangun (IDM) sebesar 0.8835. IDM ini diukur dari tiga dimensi, lingkungan, sosial dan ekonomi. Penilaian itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Nomor 303 Tahun 2020.
Di Gresik sendiri, data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di Gresik, dari total 330 desa baru sebanyak 47 desa dikategorikan sebagai desa mandiri. Kemudian 149 desa masuk kategori desa maju dan 139 desa berkembang.
“Kami memang ingin membuka lapangan kerja, karena sebelumnya banyak anak muda di desa menganggur tidak memiliki pekerjaan tetap. Apalagi rata-rata dari mereka tidak memiliki keahlian khusus, jadi bekerja di sektor wisata ada tambahan ilmu,” kata Halim.
Manfaat lain sektor wisata itu mampu mendongkrak perekonomian keluarga. Setiap RT di desa tersebut disiapkan stand jualan produk jajanan mereka sendiri atau produk-produk lainnya, semisal merchandise kaos atau produk handmade lainnya.
Kondisi wisata yang perlahan pulih tentu menggembirakan bagi Purwadi, warga desa setempat. Stand yang dijaga istrinya mulai bisa berjualan lagi. Purwadi ini bisa dibilang salah satu warga yang ketiban berkah dari keberadaan wisata tersebut.
Sejak lokasi wisata itu ada dan tumbuh, kesejahteraan ekonomi keluarganya juga terkerek naik. “Kini ada tambahan pendapatan. Istri menjaga stand bisa membantu pendapatan suami,” katanya.
Dia berharap sektor wisata di desanya terus dikembangkan lagi. Apalagi wisata ini sebagian besar saham dimiliki oleh warga. Tentu kepemilikan bersama akan meningkatkan masyarakat dalam pembangunan sadar wisata. “Warga tentu terbantu,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Pendapatan dan Kekayaan Desa dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Gresik, Widiyatul Ilmiah, mengatakan melihat desa maju tidak hanya dilihat dari sisi wisata saja. Melainkan dari kemampuan Desa dan BUMDes mendorong pendapatan desa.
"Selain Desa Sekapuk, ada beberapa desa yang dianggap BUMDesnya juga baik secara pengelolaan. Seperti Desa Sukorejo, Hidrosari dan Cerme Lor," katanya menegaskan.
Sementara itu, Koordinator Tenaga Ahli Program PLD Gresik, Rukyat mengatakan Sekapuk sekarang sudah menjadi desa mandiri dengan syarat yang sudah ditentukan. “Menjadi desa yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tidak tergantung dari bantuan pemerintah alias kaya,” ujarnya.