Rana Kulan menggantung harap pada porang
Warga Desa Rana Kulan, Kabupaten Manggarai Timur, menjadikan porang sebagai tanaman utama. Harga porang yang melejit, membuat warga kian bersemangat. Diperkirakan pada 2021, warga akan memanen sekitar 6 ribu ton lebih porang.

Arsyat Alo (57) mengenal porang sebagai tumbuhan bernilai ekonomi, pada 2011. Sebelumnya, ia dan para petani lainnya di Desa Rana Kulan, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, menganggap porang sebagai tumbuhan pengganggu. Tanaman yang menghambat pertumbuhan tanaman komoditas andalan mereka seperti kakao, kopi dan kemiri. Tak jarang mereka menyiangi porang yang tumbuh liar di kebun-kebun.
"Saya tahu porang itu punya harga dari teman yang kerja di Surabaya sejak sembilan tahun lalu. Sejak saat itu, meskipun harganya kecil, saya tidak lagi basmi porang yang tumbuh di kebun," cerita Arsyat di kediamannya, Rabu, 2 Desember 2020.
Pada 2011, Frans -- teman Arsyat yang bekerja di Surabaya -- memintanya untuk mencari dan membeli umbi porang. Umbi basah dibeli dengan harga 500 rupiah per kilogram. Sedangkan umbi kering dihargai 3.000 rupiah per kilogram. Arsyat pun mulai menjalankan bisnis porang dari modal dari Frans. Ia membeli porang dari warga,lalu menjualnya ke Surabaya.
Kala itu, para petani di desanya menjual umbi porang yang sebelumnya bertumbuh liar di kebun dan di hutan. Para petani belum mulai membudidayakan porang. "Mungkin karena harga murah dan porang di wilayah ini masih bertumbuh liar, para petani di sini belum mulai budidaya porang," katanya.
Tiga tahun setelah menjalankan bisnis ini, pada 2014 Arsyat mulai membudidayakan porang. "Saat itu saya berpikir, kalau suatu saat porang yang tumbuh liar di hutan dan di kebun ini habis, dari mana kami dapat umbi porang untuk dijual ke depannya?" ujarnya.
Sambil berbisnis umbi porang, ia tetap mengajak petani di desanya dan juga beberapa desa tetangga untuk menanam porang. Namun, karena porang masih banyak bertumbuh liar di hutan di wilayah mereka, para petani enggan untuk menanam porang. Mereka lebih memilih untuk mencari umbi porang di hutan untuk dijual kepada Arsyat dan beberapa pembeli umbi porang yang datang dari luar desa.
Meski demikian, Arsyat tidak putus asa. Ia terus mengajak sesama petani untuk membudidayakan porang. Ia berusaha menjelaskan prospek ekonomi dari tumbuhan itu. "Ke mana saja saya pergi, saya selalu bicara porang. Saya tidak bosan ajak sesama petani untuk tanam porang. Tetapi karena harganya tetap murah, para petani di sini tetap tidak mau ikut ajakan saya untuk budidaya porang," ujarnya.
Harga porang, kata Arsyat, terus naik tiap tahun meski tidak signifikan. Dan masyarakat di desanya tetap enggan untuk menanam porang. Melihat itu, Arsyat berputar otak mencari solusi agar petani di desanya mau membudidayakan porang. Pada Mei 2018, Ia meminta kepada Frans untuk menaikkan harga, jika ingin mendapat banyak umbi porang. Frans pun setuju.
Pada 2018 itu, harga umbi porang basah naik hingga lima ribu rupiah per kilogram dan harga umbi porang kering melejit hingga 60 ribu rupiah per kilogram. Ketika harga naik, porang yang Arsyat tanam di kebun berukuran 3 hektar, sudah berusia tiga hingga empat tahun. Ia memanen sebagian porang itu. Dari 3,4 ton umbi porang basah yang dipanen, Arsyat mendapat 17 juta rupiah. Sedangkan sebagian lainnya ia belum panen. Arsyat ingin, sebagian porang yang belum dipanen itu dibagikan kepada sesama petani di desanya untuk jadi bibit, karena porang-porang yang bertumbuh liar sudah habis diambil warga untuk dijual.
Sejak harga porang naik, para petani di desa Arsyat mulai ramai-ramai mencari bibit. Arsyat pun membagi-bagikan porang miliknya kepada mereka. Total sekitar 11 ribu anakan porang ia bagikan kepada sesama petani di desanya untuk pembibitan saat itu.

Bentuk Kelompok Tani Milenial
Melihat warga yang antusias membudidayakan porang, Kepala Desa Rana Kulan, Fransiskus Sanjay (43), menginisiasi pembentukan kelompok tani milenial di desa tersebut.
Saat acara Tahun Baru Bersama 2019, ia bersama Arsyat dan ratusan petani di desa itu mendeklarasikan "Gerakan Berjuta Porang Desa Rana Kulan". Mereka membentuk kelompok Pemuda Tani Milenial yang fokus pada usaha budidaya porang. Satu kelompok terdiri dari delapan hingga 10 orang. Ada pemuda dan ada orang tua. Total ada 19 kelompok tani yang terbentuk.
Kelompok Pemuda Tani Milenial bersepakat, setiap anggota kelompok diwajibkan menyiapkan minimal 1.000 bibit porang setiap tahun untuk ditanam di kebunnya. Mereka bekerja gotong royong, mulai dari penggemburan tanah, pembuatan terasering hingga penanaman.
Untuk pemupukan mereka bersepakat untuk menggunakan pupuk kompos. Mereka dilatih oleh pendamping pertanian yang bertugas di desa untuk mengolah kotoran ternak dan rumput-rumputan untuk dijadikan pupuk. Setiap anggota kelompok pun diwajibkan memelihara ternak seperti kambing, sapi dan babi. Fransiskus dan Arsyat pun ikut terlibat dalam kerja-kerja kelompok dan terus memotivasi para petani.
Tampak di beberapa kebun petani di desa itu, tanaman porang bertumbuh subur di bawah tanaman kakao. Selain itu, terlihat juga kandang-kandang ternak seperti babi dan kambing berdiri di beberapa kebun itu. Para petani memanfaatkan kotoran ternak itu untuk pemupukan tanaman porang. Hingga kini, total 53 hektar lahan di Desa Rana Kulan yang sudah ditanami porang.
Menurut pendamping pertanian lapangan (PPL) Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur - bertugas di Desa Rana Kulan, Longginus Rodi (42), pembudidayaan porang di desa itu sudah mulai dengan standar pertanian modern. Petani tidak lagi menanam dengan cara konvensional, tetapi diatur sesuai ilmu pertanian, seperti pengaturan jarak antara pohon, jarak antara terasering dan pemupukan.
"Saya sangat respek dengan Pak Kades dan Pak Arsyat yang terus memberi dukungan kepada para petani dalam pembudidayaan porang di desa ini. Pak Kades selalu memberi motivasi dan juga sudah membangun jalan tani ke kebun-kebun warga. Sedangkan Pak Arsyat menyumbang bibit," tutur Longginus.
Menurutnya, satu hektar lahan ditanami maksimal 40 ribu bibit porang. Dari 53 hektar lahan yang yang sudah tanam sejak 2019, total sekitar 2,12 juta pohon porang yang dibudidaya petani di Desa Rana Kulan.
"Kalau kita hitung, nanti 2021 sudah mulai panen. Dengan cara penanaman dengan sistem pengolahan tanah, maka satu umbi beratnya diperkirakan mencapai dua hingga tiga kilogram saat usia tiga tahun. Dari dua juta lebih pohon porang yang sudah dibudidaya ini, tahun depan diperkirakan desa ini bisa panen enam ribu ton umbi porang," katanya.
Saat ini, para pengepul di Manggarai Timur membeli umbi porang basah dengan harga 10 ribu rupiah per kilogram. Jika 2,12 juta pohon porang di Desa Rana Kulan dipanen pada 2021, dengan asumsi berat umbi 3 kilogram per pohon, maka total panen ditaksir mencapai 6.360 ton. Jika harga umbi basah 10 ribu rupiah per kilogram, maka akumulasi pendapatan seluruh petani porang di Rana Kulan dapat mencapai 63,6 miliar rupiah pada tahun depan. Jumlah itu melebihi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Manggarai Timur 2019 yang hanya mencapai 61,5 miliar rupiah.
Ketua salah satu kelompok Pemuda Tani Milenial di Desa Rana Kulan, Roli Tumpang (27) mengaku tertarik untuk menanam porang karena sangat menjanjikan secara ekonomi. Apalagi, katanya, porang tidak tergantung pada curah hujan. Meski intensitas hujan tinggi atau sebaliknya, porang tetap tumbuh dan hidup.
"Kami tanam tahun lalu, dan tahun ini kami sudah panen umbi katak (buah yang tumbuh diantara batang tanaman porang). Umbi katak ini kami jadikan bibit. Sebagiannya kami jual dan harganya sangat tinggi. Per kilogram itu kami jual 200 ribu rupiah," katanya.
Menurutnya, dari hasil penjualan umbi katak porang, ada beberapa petani yang pada tahun ini berhasil mendapat uang belasan hingga puluhan juta rupiah. Inilah yang membuatnya tambah termotivasi untuk terus menanam, hingga semua kebun warisan orang tuanya penuh dengan porang.
"Total luas saya punya kebun itu sekitar tiga hektar lebih. Dan saya mau semua kebun harus ditanami porang," pungkasnya.
Sementara itu, salah seorang anggota kelompok tani, Ludovikus Hasiman (42) mengatakan bahwa ia tertarik menanam porang karena pasarannya sudah jelas dan harga setiap tahun terus naik. Selain itu, meskipun dengan lahan kecil, petani bisa dapat uang banyak dari porang.
Menurut Lodovikus, biaya atau modal awal untuk budidaya porang tidak mahal karena mereka kerja gotong royong mulai dari penggemburan tanah hingga tanam. Pada awal budidaya porang di kebun seluas sekitar 3 hektar, ia hanya menghabiskan sekitar 6,5 juta rupiah. Uang tersebut digunakan untuk membayar pekerja saat penyiangan rumput sebelum lahan digemburkan, dan biaya makan-minum selama kerja kelompok mulai dari penggemburan tanah hingga tanam.

Selama ini, kata Lodovikus, kehidupan para petani di desanya sangat susah. Meskipun mereka punya komoditas unggulan seperti kakao, tetapi tidak bisa mengubah kondisi ekonomi. Alasannya, tidak setiap tahun hasil panen stabil akibat buah kakao terserang hama kutu. "Harapannya, dengan porang ini kehidupan kami bisa berubah jadi lebih baik," katanya.
Fransiskus mengatakan, untuk mendukung "Gerakan Berjuta Porang Desa Rana Kulan", pihaknya telah membangun 2.100 meter jalan tani menuju kebun-kebun warga. "Ini untuk mempermudah petani saat mengangkut porang pasca panen," katanya.
Selain itu, ia juga sudah beberapa kali mengundang pejabat-pejabat daerah untuk datang melihat porang di desanya. "Kehadiran pejabat daerah juga diharapkan menambah motivasi petani untuk terus membudidayakan porang," tuturnya.
Menurut Fransiskus, dirinya selalu mendorong petani, khususnya pemuda di desa itu untuk tidak merantau.
"Kita ini anak petani. Dan menjadi petani adalah pekerjaan yang turun-temurun. Hanya saja, kita harus ubah sistem bertani. Sekarang kita harus pakai hitungan. Kalau saya tanam tanaman ini, dalam berapa tahun saya panen? Bagaimana untung-ruginya? Saya terus mendorong petani muda ini supaya tidak lagi bertani macam orang tua dulu, tetapi harus menjadi petani modern," ujarnya.
"Saya juga selalu bilang ke mereka, buat kebun itu seperti taman. Sehingga punya daya tarik karena saat ini lagi tren wisata berbasis pertanian," tambahnya. Ke depan, kata Fransiskus, desanya akan dikembangkan jadi desa agrowisata, dengan tanaman utama porang.
"Mimpi kami, nanti wisatawan bisa bersepeda di tengah-tengah kebun porang. Selain bersepeda, wisatawan bisa melihat bunga porang dan berswafoto di kebun porang," tuturnya penuh semangat.
Fransiskus mengatakan, ia menggerakkan petani untuk menanam porang karena ingin mengubah status desa seluas 11,7 kilometer persegi itu jadi desa maju. "Desa kami ini merupakan desa sangat tertinggal. Hal itu, salah satunya disebabkan karena pendapatan per kapita masyarakat yang sangat rendah," katanya.

"Kami ingin agar porang jadi primadona pertanian di desa kami. Semoga dengan kehadiran porang sebagai komoditas pertanian baru ini, ekonomi masyarakat kami di sini jadi lebih baik dari sebelumnya," imbuhnya.
Arsyat mengaku senang dengan semangat para petani di desanya yang kini sudah ramai-ramai membudidayakan porang. "Selama delapan tahun saya terus mengajak sesama petani untuk tanam porang. Tahun ke sembilan baru berhasil. Mulai tahun ini, ada beberapa petani yang mulai menikmati hasil panen biji katak porang dan uangnya cukup banyak," katanya.
Munurut Arsyat, kendala yang dialami petani di desanya saat ini yakni kondisi infrastruktur jalan dari dan menuju pusat kota yang rusak parah.
"Harapan kami pemerintah kabupaten mendukung kami dengan cara memperbaiki kondisi jalan ke desa kami. Kalau jalan bagus, kami tidak kesulitan memasarkan hasil petanian," pungkasnya.