Desa

Parijoto, dari mitos menjadi olahan andalan Kudus

Parijoto, salah satu tumbuhan khas lereng Muria, mulai berkembang menjadi produk olahan. Produksinya masih terbatas, karena suplainya juga terbatas. Pasarnya cukup menjanjikan di masa depan.

Islakhul Muttaqin
Parijoto, dari mitos menjadi olahan andalan Kudus
Buah Parijoto di kebun milik Sutrimo yang bertempat di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Buah yang sudah berwarna keunguan itu menandakan sudah matang dan layak untuk dipetik. Satu kilo buah segar dihargai seratus ribu rupiah (3/5/2021). Islakhul Muttaqin / Lokadata

Namanya parijoto (Medinilla speciosa. B). Ada juga yang menyebutnya anggur mawar. Sebab bentuknya seperti anggur, namun ukurannya lebih kecil. Saat matang, buahnya berwarna ungu.

Di Kabupaten Kudus, khususnya di kawasan Muria, parijoto diyakini dapat menjaga kesuburan perempuan. Bagi ibu hamil yang mengkonsumsinya, diyakini kelak anaknya akan tampan dan cantik ketika lahir.

“Bisa dimakan langsung atau dirujak,” ujar Rukhanah (58 tahun), penjual parijoto di sekitar Makam Sunan Muria pada Minggu (2/5/2021).

Dalam beberapa penelitian seperti Anggana AF (2011) dan Rissa Vifta, dkk. (2019) menyatakan bahwa parijoto adalah tumbuhan perdu yang berkhasiat sebagai obat untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil dan janinnya. Dalam buah parijoto terkandung senyawa saponin dan flavonoid yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antidiabetes.

Dulu parijoto dijual mentahan. Namun belakangan, produk olahan parijoto mulai bermunculan, salah satunya sirop. Triyanto R Sutardjo (37 tahun), salah seorang produsen sirop Parijoto di Desa Colo, Kecamatan Dawe mulai membuat sirop parijoto sejak 2017. Dia terinspirasi oleh sirop buah kawis dari Rembang. Dari situlah Tryan mencoba berinovasi dengan membuat sirop parijoto.

“Pada 2015, saya mulai bereksperimen untuk menemukan resep yang tepat untuk membuat produk sirop parijoto. Berkali-kali gagal hingga akhirnya menemukan formula yang pas,” ujarnya pada Minggu (2/5/2021). Pada 2017, Triyan dan istrinya Setyowati Rahayu (36 tahun) meluncurkan produk sirop parijoto dengan merek dagang Alammu, kependekan dari Alam Muria.

Pada awal kemunculan, respons masyarakat masih landai. Namun pada 2018, sirop Alammu milik Triyan mulai kebanjiran pesanan. Sayangnya, Triyan tidak bisa melayani semua pembeli. Dia kehabisan stok karena kekurangan bahan baku.

Setyowati Rahayu, yang bertanggungjawab dalam manajemen produksi mengatakan, Alammu dalam sepekan memproduksi minimal 100 liter. Untuk bahan baku, dalam satu pekan rata-rata memerlukan 100 kg buah parijoto segar dan 100 kg gula pasir.

Produk sirop kemasan yang dijual di antaranya berukuran 250 ml, 350 ml, 500 ml dan 630 ml. Dari variasi ini yang paling laku adalah 500 ml. Sirop Alammu dibandrol mulai dari Rp45.000 untuk ukuran 250 ml, Rp65.000 untuk 350 ml, Rp85.000 untuk 500 ml, dan Rp130.000 untuk 630 ml.

Produk sirop parijoto Alammu dan beberapa produk olahan lain seperti teh, permen dan keripik (2/5/2021.
Produk sirop parijoto Alammu dan beberapa produk olahan lain seperti teh, permen dan keripik (2/5/2021. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Sirop parijoto ini mendapat beberapa penghargaan dari daerah hingga level nasional. Di antaranya, Juara 1 Lomba Kreativitas dan Inovasi (Krenova) Tingkat Kabupaten Kudus pada 2018. Kemudian, menjadi 100 finalis terbaik dalam The Big Start Indonesia yang diselenggarakan oleh Blibli.com pada tahun 2018.

Selain itu, sirop parijoto Alammu ini menjadi salah satu produk unggulan nasional oleh Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2018. Pun mendapatkan fasilitas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk hak paten sirop Parijoto oleh Bappeda Provinisi Jawa Tengah. Kemudian bisnis ini pun menjadi UMKM kreatif sebagai pengusaha pemula berbasis teknologi yang didanai oleh Kemenristek Dikti pada 2019. Pada 2020, produk ini juga masuk dalam e-katalog Bank Negara Indonesia dan pada 2021 menjadi produk unggulan Jawa Tengah versi Bank Indonesia.

Setelah berhasil membuat sirop, pada 2020, Triyan berinovasi mengolah parijoto menjadi permen, kripik, dan teh. “Sasaran produk teh parijoto untuk kalangan menengah ke atas yang mempunyai penyakit gula,” ujarnya.

Selain Triyan, pada 2017, Sumarlan, warga Colo, Dawe, juga memproduksi sirop parijoto dengan merek dagang Argo Mulyo. Dalam sebulan, Sumarlan mampu menjual sebanyak 200 botol dengan berbagai ukuran. Bahan baku yang dia butuhkan rata-rata 200 kg setiap bulan. Ukuran yang dia produksi di antaranya 100 ml dengan harga Rp25.000, 250 ml dengan harga Rp40.000, 350 ml dengan harga Rp60.000, dan 600 ml dengan harga Rp100.000.

Sumarlan juga menghadapi keterbatasan bahan baku. Permintaan konsumen seringkali tersendat karena stok bahan baku tidak ada. Penyebabnya, sebagian besar petani di Colo sampai sekarang masih rutin memasok buah segar ke pedagang di kompleks Makam Sunan Muria untuk dijual secara langsung.

Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus dalam tangkapan layar Dashboard Lokadata. Desa ini termasuk desa dengan status maju.
Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus dalam tangkapan layar Dashboard Lokadata. Desa ini termasuk desa dengan status maju. Lokadata / Dashboard Lokadata

Kurang bahan baku

Jumlah petani parijoto di Desa Colo masih terbatas. Sutrimo (60 tahun), salah seorang petani parijoto mengatakan bahwa petani parijoto di Colo hanya delapan orang. Sementara itu, total lahan yang ditanami hanya seluas 3 hektar.

Dulu, parijoto dikenal sebagai tanaman liar. Baru setelah 1998 tanaman ini dibudidayakan sebagai tanaman pertanian. “Kami memutuskan membuka lahan karena tanaman parijoto semakin sulit ditemukan di Colo. Delapan petani akhirnya bersepakat mencari tanaman bibit di sekitar hutan Gunung Muria untuk dikembangkan di lahan yang sudah disepakati,” ujar Sutrimo pada Senin (3/5/2021).

Parijoto adalah tanaman yang menyukai kelembaban tinggi. Di alam liar, tanaman ini tumbuh di tebing-tebing di puncak Pegunungan Muria. Sejak dulu parijoto sudah memiliki nilai ekonomi. Pada hari-hari tertentu parijoto laris dibeli oleh peziarah di Makam Sunan Muria. Kini, harganya makin melonjak. Selain karena permintaan yang makin tinggi sementara ketersediaan terbatas, lahirnya produk olahan parijoto juga menjadi penyebab yang lain.

“Parijoto sangat laku di Colo, di daerah lain, dulu nggak ada nilai jualnya. Tapi sekarang semuanya laku dijual,” jelas Sutrimo.

Parijoto dijual Rp100.000 per kilogramnya. Setiap kilogram terdiri dari 12 hingga 15 tangkai. Jadi, per tangkai nilainya kira-kira Rp8.000. Ketika memasuki musim kemarau, harganya bisa dua kali lipatnya.

Penyebab lainnya yang membuat produksi parijoto tidak bisa ditingkatkan adalah karena lokasi kebunnya berada di kawasan hutan lindung milik Perhutani. “Petani tidak dapat membuka lahan baru lagi karena tidak mengantongi izin dari Perhutani,” ujar Sutrimo.

Untuk mengatasi kelangkaan bahan baku, Triyan bekerjasama dengan petani dari desa lain. Kini dia mendampingi dua petani dari Desa Japan, Kecamatan Dawe, dan Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog. Selain itu, dia juga bekerjasama dengan petani dari Jepara, persisnya dari Desa Tempur.

“Kalau hanya mengandalkan Kudus sendiri jelas kurang, karena luas lahan di Kudus hanya sekitar 5 hektar. Sebanyak 3 hektar di Colo, 1 hektar di Japan, dan 1 hektar di Desa Japan. Makanya menambah lagi di Jepara,” ungkap Triyan.

Mengingat parijoto adalah tanaman dengan kebutuhan air sangat tinggi, Triyan memfasilitasi petani binaannya dengan membuat saluran air untuk mencapai lahan yang ditanami.

Buah Parijoto (Medinilla speciosa, B.) di kebun milik Sutrimo di hutan Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus
Buah Parijoto (Medinilla speciosa, B.) di kebun milik Sutrimo di hutan Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus Islakhul Muttaqin / Lokadata

Sistem Reseller dan Pemasaran Online

Ami Yakarya (21 tahun), pemilik Yakarya Marketing Agency yang bergerak di bidang digital marketing untuk UMKM di Kudus mengatakan potensi pasar produk sirop parijoto sangat bagus di marketplace, seperti Shopee, Tokopedia, dan Buka Lapak. Sejak produk sirop parijoto masuk dalam katalognya, penjulannya cenderung meningkat. Setiap bulannya, Yakarya Marketing Agency dapat menjual minimal 100 botol berbagai ukuran yang diproduksi Alammu.

Dalam manajemennya, produk sirop menjadi penjualan terbesar kedua setelah fashion dan menjadi penjualan terbesar pertama untuk kategori minuman.

Untuk promosi, Ami tidak hanya mengandalkan mitos masyarakat saja, tetapi memberi penjelasan tentang khasiat yang terkandung dalam parijoto. Cara itu cukup jitu menarik pembeli.

“Penjualan paling banyak terjadi di pertengahan pandemi,” katanya lewat sambungan telepon pada Senin (3/5/2021).

Triyan mengakui bahwa target pasar produk-produknya memang tidak hanya peziarah makam Sunan Muria, tetapi pasar nasional. Oleh sebab itu, dia menjalankan strategi bekerjasama dengan agen digital marketing seperti Ami Yakarya dan membuat sistem reseller di berbagai kota besar, seperti Semarang, Yogjakarta, Surabaya, dan Jakarta.

Ami Yakarya, pemilik Yakarya Marketing Agency di Kudus saat sedang berada di rumah produksi sirop parijoto Alammu di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus (2/5/2021).
Ami Yakarya, pemilik Yakarya Marketing Agency di Kudus saat sedang berada di rumah produksi sirop parijoto Alammu di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus (2/5/2021). Islakhul Muttaqin / Lokadata

Baca Lainnya

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus
Desa

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus

Hampir 80 persen ekonomi Kabupaten Kudus ditopang industri pengolahan. Sektor lain bisa memanfaatkan hal itu dengan jeli melihat peluang dan pasar serta kerjasama antar industri besar, sedang, hingga skala mikro kecil menengah.

Afthonul Afif