Menilik konsorsium bisnis desa di Pati
BUMDesma Mandiri Sejahtera Kabupaten Pati menghimpun dana sekitar Rp5 miliar. Digunakan untuk membangun pelbagai bisnis, mulai dari klinik sampai coworking space.
Terhitung sejak tahun lalu, nyaris semua desa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, telah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sayangnya, sebagian besar badan usaha itu mengambil jalan gampang namun rawan: usaha simpan pinjam. “Hampir 80 persen badan usaha desa hanya membuat unit usaha simpan pinjam.” kata Sukamad, Ketua Perkumpulan BUMDesa Mina Tani (Perbumi), Pati. Padahal bisnis ini kerap mangkrak, terutama dibelit oleh kredit macet.
Banyak pilihan sebetulnya bagi badan usaha desa. Jika dikelola baik, dia akan mampu mendongkrak kehidupan ekonomi warga. Syaratnya bisnis yang dijalankan adalah usaha produktif, dan bukan “konsumtif” seperti simpan pinjam. Meskipun ada yang berhasil, umumnya unit usaha simpan pinjam macet di tengah jalan. Usaha itu bahkan sering diplesetkan sebagai unit “pinjam-pinjam”.
Perbumi mencoba melihat potensi ekonomi yang lebih kreatif. Mereka berkolaborasi dan membentuk sebuah konsorsium usaha, Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma). Ide membentuk wadah dengan skala lumayan besar itu dimulai dua tahun lalu, dalam musyawarah yang dihadiri bupati, wakil bupati, Badan Koordinasi Antar Desa (BKAD).
Sukamad bercerita, dia awalnya ingin menggandeng semua desa bergabung dalam wadah itu. Tapi rupanya tidak semua tertarik. “Ada 159 desa bersepakat membentuk BUMDesma,” kata Sukamad kepada Lokadata.id beberapa waktu silam. Lalu setiap desa pun menyetorkan dana sebagai modal awal pendirian.
Sebagian besar BUMDes menitipkan modal sebesar Rp20 sampai Rp100 juta. Beberapa desa ada yang menyetor Rp100 juta. Dana yang terkumpul lumayan, lebih dari Rp5 miliar sebagai modal awal. Dari sana berdirilah BUMDes Bersama (BUMDesma) Mandiri Sejahtera Pati, pada 20 Juli 2018.
Dari Klinik sampai Coworking Space
Untuk menata bisnisnya, BUMDesma pun membentuk perusahaan terbatas. Pada akhir 2018, berdiri PT Maju Berdikari Sejahtera Pati (PT. MBSP). Perusahaan ini kemudian melahirkan Klinik BUMDes, BUMDes Coworking Space, dan PT Mitra Desa Pati (PT. MDP). “Semua pilihan unit usaha ini kami dasarkan pada riset dan data kebutuhan masyarakat di Kabupaten Pati,” ujar Reza Adiswasono, Direktur Utama PT. MBSP, pertengahan Juni lalu.
Saat mendirikan Klinik BUMDes Sehat, BUMDesma berkonsultasi dengan Dinas Kesehatan Pati, BPJS Kesehatan, dan asosiasi profesi kesehatan. Tujuannya melihat daerah mana yang masih membutuhkan fasilitas klinik, agar klinik BUMDes ini tepat sasaran. “Lima klinik yang telah berdiri adalah hasil diskusi intens dengan banyak ahli, “ kata Reza.

Untuk menentukan lokasi klinik, mereka melihat jumlah penduduk dan data peserta BPJS yang telah tercakup dalam fasilitas kesehatan pemerintah. Reza berkeyakinan, bisnis kesehatan adalah bisnis jangka panjang yang sustainable sehingga layak ditangani serius.
Dalam setahun, PT MBSP telah mendirikan lima klinik. Letaknya tersebar di sejumlah desa, misalnya Desa Trangkil (Kecamatan Trangkil), Kelurahan Pati (Kecamatan Pati), Desa Tlogorejo (Kecamatan Tlogowungu), Desa Waturoyo (Kecamatan Margoyoso) dan Desa Jatimulyo (Kecamatan Wedarijaksa). Masuk ke lini bisnis kesehatan adalah sejarah baru. “Kami adalah BUMDes pertama yang menjalankan usaha kesehatan,” ujar Reza.
Klinik BUMDes Sehat ini menjadi unit usaha utama. Sekitar 50 persen modal awal BUMDesma dikucurkan untuk pembangunan awal klinik. Dengan modal itu, klinik dilengkapi dengan pelbagai fasilitas kesehatan yang cukup mumpuni. Sistem administrasi dan pendaftaran dilaksanakan dengan cara digital. Klinik BUMDes Sehat menyediakan layanan dokter umum, dokter gigi, akupuntur, baby spa dan pelayanan perawatan kulit.

Usaha BUMDesma Pati pun berkembang. Konsorsium itu lalu bekerja sama dengan PT Mitra BUMDes Nusantara (PT. MBN), dan lahirlah satu anak perusahaan PT. Mitra Desa Pati (PT. MDP) pada Januari 2019. Total modal anak perusahaan ini sekitar Rp2 miliar, dengan proporsi 49 persen berasal dari BUMDesma dan 51 dari PT MBN.
Anak perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan material dan jasa konstruksi infrastruktur desa. “Pembangunan desa menggunakan Dana Desa harus melalui swadaya, tidak boleh langsung kepada kontraktor”, kata Reza. Posisi anak perusahaan menjadi strategis untuk bekerjasama dengan desa karena ia adalah usaha bersama milik desa. Dengan pasar yang lumayan besar dan jelas, sebelum masa pandemi, anak perusahaan ini sudah meraup keuntungan.
Selain dua unit usaha itu, BUMDesma juga membuat Coworking Space BUMDes. Coworking space ini juga adalah yang pertama didirikan oleh BUMDes di Indonesia. Tujuan unit usaha ini adalah menyediakan ruang berjejaring bagi desa, BUMDesa, dan pelaku usaha di Pati. Reza menyadari pentingnya jejaring kuat dan ruang berkumpul yang nyaman bagi usaha BUMDesa ke depan. Usaha yang berlokasi di Jalan Penjawi No.19, Kecamatan Pati ini, menyediakan ruang rapat, coworking space, hall dan kafe.
Sebelum Covid-19, dalam sebulan rata-rata usaha itu beromzet sekitar Rp40-60 juta. “Sebelum Covid-19 melanda, omzet bulanan di coworking space cukup menjanjikan. Dari kafe, sewa meeting room dan coworking space sudah cukup untuk kebutuhan operasional, bahkan menghasilkan profit meski baru sedikit,” ujar Reza.

Bisnis Jangka Panjang
Visi bisnis memang menjadi tantangan, apalagi menjelaskan kepada anggota BUMDesma dan desa-desa lain tentang logika bisnis jangka panjang. Para anggota BUMDesma seringkali mendapatkan kritik tentang keuntungan. “Yang susah menjelaskan ini kepada masyarakat. Keuntungan sebuah perusahaan tidak bisa dipetik dalam setahun dua tahun. Hal ini selalu kami sosialisasikan kepada shareholder BUMDes dan masyarakat,” Reza menjelaskan.
Untuk Klinik BUMDes, Reza menargetkan modal awal kembali pada 2021. Target optimistis ini baginya masuk akal, karena sebagian besar desa sudah mulai sadar dan mendukung usaha bersama antar desa ini. Selainkan menargetkan balik modal, BUMDesma juga menargetkan ekspansi klinik. “Kami juga akan membangun dua klinik lagi, di Kecamatan Dukuhseti dan Tayu,” kata Reza.
Inspirasi dari para pengurus untuk bekerja demi desa, meski keuntungan masih minimal, adalah hal yang membuat para pengurus BUMDesma tetap bertahan. Reza dan timnya juga kerap melihat warga yang bersedia mengurusi BUMDesa masing-masing meski tanpa dibayar. “Mereka full untuk desa. Ini membuat kami terus berusaha mengembangkan usaha BUMDesma,” kata Reza.