Menakar arah baru BUMDes
Di masa Covid-19, Joko Widodo tetap mempercayai bahwa rebound ekonomi desa bisa dilakukan melalui revitalisasi BUMDes. Dengan catatan, dua problem dicarikan solusinya, dan disupervisi agar BUMDes bisa berkontribusi pada ekonomi masyarakat secara langsung.
Pasca diberlakukannya Undang-Undang Desa No.6 tahun 2014, harapan mengembalikan keberdayaan masyarakat dan kemandirian ekonomi pedesaan, kembali bergairah. Secara historis, sejak tahun 1979, melalui UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, eksistensi desa adalah unit administrasi terkecil pada sistem kenegaraan. Ironisnya lagi, di era tersebut, sistem pemerintahan menganut paham sentralisasi.
Sambutan senyampang juga dilakukan oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla. Nawa cita presiden Joko Widodo– bahkan hingga hari ini – menempatkan model pembangunan melalui pinggiran, sebagai visi besarnya. Oleh karena itu, concerning pemerintah berkait desa sangatlah kuat. Dan, belakangan ini juga kita bisa melihat, bagaimana reaksi presiden terhadap kondisi pedesaan; apakah itu problem, ataupun solusi menghadapi pandemi Covid-19.
Di era sebelum Covid-19, Joko Widodo mengatakan bahwa terdapat 2.188 BUMDes (atau populer disebut BUMDes) tidak beroperasi, dan 1.670 BUMDes sudah beroperasi tetapi tidak dapat berkontribusi positif terhadap pendapatan desa (CNBC/2019). Di masa Covid-19, Joko Widodo tetap mempercayai bahwa rebound ekonomi desa bisa dilakukan melalui revitalisasi BUMDes. Dengan catatan, dua problem dicarikan solusinya, dan disupervisi agar BUMDes bisa berkontribusi pada ekonomi masyarakat secara langsung.
Keinginan pemerintah untuk revitalisasi BUMDes ini pun dijawab secara kelembagaan oleh Menteri Desa, PDTT, A. Abdul Halim Iskandar. Ia memerintahkan seluruh sektor fokus untuk membaca ulang data-data BUMDes yang ada; membuat klasterisasi; dan memetakan mana yang masih aktif bertransaksi ataupun sudah “mati” akibat pandemi ini.
Dari pelbagai diskusi yang dilakukan oleh stakeholders di kementerian, maka ditemukan tabel data sebagaimana berikut:
Dinamika Pengelolaan
Terlepas dari apa yang dilakukan oleh Kemendesa menghadapi dinamika dan problem pengelolaan BUMDes. Saya pun melihat, setidaknya, terdapat beberapa hal krusial yang harus juga dijalankan: Pertama, problem kapasitas kepemimpinan sosial dan politik birokrasi desa (Hari Fitrianto, 2016, 90). Persoalan kedua, lemahnya kontrol stakeholders.
Sebagaimana amanah permendes tentang BUMDes, pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa. Artinya, secara ideal mestinya BUMDes digagas bersama dan dievaluasi bersama oleh warga masyarakat sebagai basis demokrasi lokal. Faktanya tidak demikian, masyarakat acuh tak acuh, pemerintah desa pun sama. BPD sebagai perwakilan masyarakat desa juga tidak berdaya. Komunikasi mutual antara pemerintah desa dengan warga masyarakat perihal kemandirian belum terbangun dengan baik.
Ketiga, orientasi dan positioning BUMDes. Dari hasil riset Institute for Research and Empowerment (2016) menyebutkan mangkraknya BUMDes di banyak wilayah di Indonesia karena kesalahan cara pandang. BUMDes yang digagas cenderung mengutamakan kepentingan bisnis semata dan tanpa analisis ekonomi yang jelas. Padahal sektor pelayanan dan pengelolaan aset desa sangat potensial untuk dikembangkan, seperti wisata desa, desa sayur, desa clean and green dan lainnya. Selain itu, problem orientasi dan cara pandang menjalankan dan mengelola BUMDes juga berpengaruh terhadap kelangsungan (sustainability) usahanya. BUMDes cenderung mengutamakan produksi daripada memasarkannya.
Reorientasi dan Revitalisasi
Ketiga poin di atas memang belum menggambarkan keseluruhan problematika yang terjadi di BUMDes. Namun, andil untuk mencapai harapan besar undang-undang dapat dimulai upayanya dari hasil analisis sederhana ini. Pertama, problem mentalitas dan kapasitas pemerintahan desa, pengelola BUMDes dan stakeholder yang beririsan kepentingannya dengan hal ini. Pengelola pasti bersinggungan langsung dengan masyarakat secara kolektif.
Dalam hal ini, menciptakan gerakan dan semangat perubahan untuk mencapai kemandirian ekonomi dapat dimulai dengan melakukan upgrade dan update kapasitas masyarakat secara sistematis. Dimulai dari pelibatan masyarakat (participate) dalam seluruh aktivitas hingga membuat komunitas-komunitas cerdas (agent of change) yang akan menopang keseluruhan proses, dari perencanaan hingga evaluasi. Kongkritnya, kesadaran masyarakat dan keterlibatannya dalam setiap proses akan mempengarungi seluruh kebijakan dan perjalanan desa dan BUMDes secara khusus. (Rahadi; 2004).
Berikutnya, akuntabilitas dan inklusi sosial di level desa. Fasilitas sistem informasi desa hingga beragam kecanggihan teknologi informasi dapat dijadikan sebagai media komunikasi, alat transparansi, pertanggungjawaban hingga media publikasi. Ruang diskusi luring dan daring diperlukan untuk menumbuhkan hal ini.
Prinsipnya, transparansi kebijakan yang bersifat publik akan membuat lingkungan kondusif (enabling environment) sekaligus menjadi sarana efektif antar kelompok masyarakat. Dampaknya akan memicu munculnya kelompok-kelompok perantara (intermediary group) sebagai komunitas penggeraknya. Selanjutnya, intermediary group ini akan menjadi local leader yang akan menggerakkan masyarakat sekelilingnya.
Terakhir, ada baiknya pengelolaan BUMDes tidak hanya berpikir tentang cara memaksimalkan potensi (baca: produksi) sebagai supply. Mencari dan merawat permintaan sebagai wujud implementasi sederhana teori ekonomi layak diujicobakan. Misalnya, desa diwajibkan memiliki data base permintaan (demand) dari perusahaan, industri dan badan usaha lainnya baik di dalam maupun di luar daerah tersebut. Selanjutnya, data base diolah (muscle knowledge) untuk dicarikan peluang potensi yang bisa dikembangkan dan bahkan dikerjasamakan dalam rangka memenuhi permintaan tersebut.
Nah, di sinilah intervensi pemerintah desa, pemerintah kabupaten (daerah) melalui regulasi diperlukan. Seluruh organisasi perangkat daerah akan bahu membahu mencari cara dan menjadi penghubung antara BUMDes dengan perusahaan sebagai mitranya.
*Ahmad Iman, Staf Khusus Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Referensi Bacaan
Dina Mariana dan Rajif Dri Angga, 2016, Membangun Kemandirian Berbasis Aset Desa, IRE: Policy Brief, Februari 2016.
Rahadi, 2004, Belajar Bersama Masyarakat, Solo: Susdek LPTP
Hari Fitrianto, “Institutional Revitalization of BUMDesa in Efforts to Encrease Independence and Village Resilience in East Java”, Jejaring Administrasi Publik, Vol. 8, No. 2, Desember 2016, 915-926.
Sukasmanto, Mengembangkan BUMDesa untuk Transformasi Ekonomi Desa, Policy Brief (Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment, 2016), 1-3.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Peraturan Menteri Desa Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa