Lima perubahan penting Undang-Undang Desa
Perubahan kedua atas Undang-Undang Desa perlu dikawal bersama. Ada lima perubahan regulasi ini yang mesti kita cermati, kawal dan ingat bersama.
Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2024 tentang Desa menjadi tonggak penting dalam sejarah panjang pengaturan desa di Indonesia. Sebagai perubahan kedua atas UU No. 6 Tahun 2014, UU Desa terbaru ini membawa perubahan signifikan yang akan memengaruhi dinamika pemerintahan dan kesejahteraan desa.
Wacana yang mulai digulirkan sejak Menteri Desa Abdul Halim Iskandar pada Mei 2022, mengusulkan jabatan kepala desa diperpanjang. Hingga akhirnya pada rapat paripurna DPR pada 28 Maret 2024 menyetujui perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 6 tahun 2014. Apa saja poin-poin pentingnya?
1. Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa dan BPD (Pasal 39 dan 56)
Salah satu perubahan paling menonjol adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi 8 tahun dengan maksimal dua periode, berturut-turut atau tidak. Sebelumnya, masa jabatan mereka hanya 6 tahun dengan maksimal tiga periode.
Perpanjangan ini diharapkan dapat memberikan stabilitas kepemimpinan, mengurangi biaya dan potensi konflik akibat pemilihan yang terlalu sering, serta memungkinkan kepala desa dan BPD fokus pada program jangka panjang. Hal ini sejalan dengan aspirasi sebagian kepala desa yang menginginkan masa jabatan lebih lama untuk merealisasikan program pembangunan desa secara optimal.
Kekhawatiran muncul terkait potensi stagnasi kepemimpinan dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan mekanisme pengawasan yang kuat dan transparan. Beberapa kalangan menilai bahwa perpanjangan masa jabatan ini justru dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi di tingkat desa.
2. Peningkatan Alokasi Dana Desa (Pasal 72):
Alokasi dana desa kini ditetapkan minimal 10% dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota. Ini merupakan peningkatan signifikan dari aturan sebelumnya (UU No. 6 Tahun 2014) yang tidak mengatur secara spesifik persentase minimal alokasi dana desa.
Peningkatan dana ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan pelayanan publik, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di desa. Hal ini sesuai dengan harapan masyarakat desa yang menginginkan adanya dukungan finansial yang lebih besar dari pemerintah pusat.
Tantangannya terletak pada pengelolaan dana yang efektif dan akuntabel. Diperlukan peningkatan kapasitas aparatur desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penggunaan dana desa agar tidak terjadi penyelewengan.
3. Hak Desa atas Dana Konservasi dan Rehabilitasi (Pasal 5A)
UU Desa terbaru ini memberikan hak kepada desa-desa yang berada di kawasan konservasi dan rehabilitasi untuk mendapatkan dana khusus. Ini merupakan aturan baru yang tidak ada dalam UU sebelumnya.
Dana ini dapat digunakan untuk membiayai kegiatan konservasi dan rehabilitasi lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan.
Pengelolaan dana ini harus transparan dan akuntabel untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, perlu dipastikan bahwa dana ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
4. Tunjangan Purnatugas untuk Kepala Desa, Perangkat Desa, dan BPD (Pasal 26, 50A, dan 62)
UU Desa terbaru ini juga memberikan tunjangan purnatugas satu kali di akhir masa jabatan bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Besaran tunjangan ini disesuaikan dengan kemampuan keuangan desa. Hal ini merupakan perubahan dari UU sebelumnya yang tidak mengatur tentang tunjangan purnatugas.
Tunjangan ini diharapkan dapat memberikan penghargaan atas pengabdian mereka selama menjabat dan memberikan jaminan finansial setelah mereka purna tugas. Beberapa pihak khawatir bahwa tunjangan ini akan membebani keuangan desa, terutama bagi desa dengan kemampuan keuangan terbatas. Perlu adanya regulasi yang jelas mengenai besaran dan mekanisme pemberian tunjangan ini agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
5. Perubahan Wewenang Kepala Desa dalam Pengangkatan Perangkat Desa (Pasal 26):
Dalam UU No. 3 Tahun 2024, kepala desa hanya memiliki wewenang untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa kepada bupati/wali kota. Hal ini berbeda dengan UU No. 6 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan penuh kepada kepala desa untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa.
Perubahan ini diharapkan dapat mengurangi potensi konflik kepentingan dan nepotisme dalam pengangkatan perangkat desa. Dengan melibatkan bupati/wali kota dalam proses pengangkatan, diharapkan perangkat desa yang terpilih adalah mereka yang benar-benar kompeten dan memenuhi syarat.
Bberapa pihak berpendapat bahwa perubahan ini dapat mengurangi otonomi desa dalam mengelola pemerintahannya sendiri. Selain itu, proses pengangkatan perangkat desa bisa menjadi lebih birokratis dan memakan waktu lebih lama.
Keberhasilan implementasi UU ini akan bergantung pada berbagai faktor, termasuk kapasitas dan integritas pemerintah desa, partisipasi aktif masyarakat, serta pengawasan yang efektif dari berbagai pihak terkait. Diharapkan, dengan adanya UU Desa yang lebih baik, desa-desa di Indonesia dapat terus berkembang dan berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan nasional.