Kelola pasar desa, BUMDes Wangisagara sumbang PADes ratusan juta rupiah
BUMDes Niagara, Desa Wangisagara, Kabupaten Bandung berhasil menyumbangkan ratusan juta rupiah dari usaha BUMDes. Pasar desa dikelola dengan mumpuni, menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk desa dan masyarakat setempat.
Gedung Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Niagara, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, tampak megah. Bangunan dua tingkat berkelir biru muda itu bersebelahan dengan kantor Desa Wangisagara. Kemegahan gedung itu menjadi salah satu bukti keberhasilan BUMDes Wangisagara dalam mengelola berbagai usaha. Usaha yang paling menonjol adalah pengelolaan pasar desa.
Bangunan bergaya minimalis itu, memiliki pintu masuk utama tepat di bagian tengah. Di bagian dalam tersedia ruangan pelayanan umum. Aneka ragam produk UMKM dari wilayah Desa Wangisagara tertata di bagian depan meja pelayanan. Aneka cemilan, olahan madu, hingga produk sepatu, sandal juga tas tertata rapi.
BUMDes Niagara, bisa dibilang tidak kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Pasalnya, jauh sebelum adanya instruksi pemerintah ihwal BUMDes, guna memaksimalkan potensi usaha di wilayah pedesaan, Desa Wangisagara sudah berinisiatif untuk memanfaatkan tanah carik (tanah kas) desa. Tanah ini menjadi cikal bakal pasar desa.
Direktur BUMDes Neneng Santiani, 42 tahun, bercerita, semula pada awal 1999, Desa Wangisagara mendapat bantuan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) senilai Rp150 juta dari Pemerintah Pusat lantaran masuk dalam jajaran desa tertinggal. Kala itu, pengurus desa juga sesepuh kampung membahas peruntukan yang tepat bantuan itu.
"Dipakai buat aspal jalan, kayaknya kurang tepat. Terus waktu itu ada juga usulan membuat kolam renang, tapi akhirnya tidak jadi. Sesepuh juga pengurus desa sepakat untuk membuat pasar," kata Neneng, Kamis, 9 September 2021.
Neneng mulai menjabat sebagai Direktur BUMDes Wangisagara sejak 2014, silam. Namun ia sudah berkecimpung di BUMDes Wangisagara sejak 2001. Sebelum Neneng, jabatan itu disandang oleh Andi Sukandi.
Bermula dari pasar desa
Alasan pembuatan pasar desa itu lantaran wilayah desa Wangisagara kala itu tidak memiliki pasar. Warga sekitar cukup jauh untuk sekedar berbelanja ke pasar utama Majalaya yang berjarak sekitar 3 kilometer. Selain itu, lokasi desa Wangisagara pun terbilang strategis lantaran menjadi persimpangan antara tiga kecamatan di Kabupaten Bandung, yakni Paseh, Ibun dan Majalaya.
"Kan kalau dari sini ke pasar utama di Majalaya itu lebih dari 3 kilometer. Para tokoh Wangisagara bercita-cita harus ada pasar desa karena dilalui oleh beberapa desa tetangga di dua kecamatan kecamatan Paseh dan Ibun," ucapnya.
Darya, kala itu menunjuk Andi Sukandi sebagai Kepala Pasar. Di tangan Andi, pasar desa Wangisagara pun berkembang pesat dan memberikan dampak positif bagi perekonomian warga sekitar.
"Pak Andi itu jasanya besar untuk BUMDes ini, ia termasuk salah satu mentor saya di BUMDes ini," ujar Neneng.
Semula pasar desa diperuntukan bagi warga asli Desa Wangisagara. Sebanyak 48 kios yang dibangun harus digunakan oleh warga desa Wangisagara. Namun, skema itu nyatanya gagal lantaran banyak dari warga yang tidak cukup piawai dalam berdagang dan berujung gulung tikar. Akhirnya, penyewa kios ataupun los di pasar desa, beralih tangan yang semula diisi oleh warga sekitar. Kini mayoritas diisi oleh pedagang dari luar desa Wangisagara.
"Kalau yang warga asli desa sininya paling sekitar 25 persen saja. Sisanya mah yang nyewa kios dari luar desa. Bahkan ada yang dari luar kota juga seperti dari Tasikmalaya dan Ciamis," ujarnya.
Pada 2021, kios di pasar desa Wangisagara berjumlah sebanyak 123 kios. Pemasukan uang dari hasil pengelolaan pasar yakni bersumber dari retribusi dan penyewaan kios.
Kepala Pengelola Pasar Desa Wangisagara, Utep Taryana, (41), mengatakan skema retribusi itu diberlakukan bagi pemilik kios ataupun pedagang yang mengisi los juga pedagang lesehan. Per hari mereka harus membayar retribusi sebesar Rp2.500. Total pedagang yang menjajakan jualan di pasar desa itu berjumlah sekitar 250 orang tiap harinya.
"Pungutan retribusi uang Rp 2.500 per hari. Ini paling murah. (Di pasar) Maruyung mah udah Rp 5.000. Apalah pasar Majalaya. Ini mah tidak ada pungutan lain lagi udah beres aja segitu. Kalau rata-rata hasil dari retribusi itu sekitar Rp660.000 per hari," kata Utep.
Sementara itu, untuk biaya sewa kios biasanya bervariasi disesuaikan dengan luas kios yang akan ditempati. Semula, lama sewa kios itu per 10 tahun sekali. Namun, sejak 2021 durasi penyewaan kios jadi diubah menjadi per 5 tahun sekali. Adapun jam operasional pasar dimulai sekitar pukul 05.00 hingga pukul 14.00.
Neneng mengatakan periode pertama, pada 2001-2011, pelapak diharuskan membayar biaya sewa antara Rp3,25 juta hingga Rp5 juta untuk sewa 10 tahun. Kemudian pada periode selanjutnya, 2011-2021, mengalami kenaikan tarif dimana pedagang harus membayar sebesar Rp14 juta hingga Rp20 juta per 5 tahun.
"Nah untuk periode 2021-2026, kontraknya per 5 tahun. Harganya dari Rp 13,5 juta sampai dengan Rp 15 juta, tergantung luasan kios," katanya.
Salah satu pedagang pasar desa Wangisagara Tati Cahyati (42) mengatakan sudah 20 tahun lamanya berjualan di pasar desa. Ia menjajakan produk keringan semisal berbagai kebutuhan pokok dari mulai beras, minyak, terigu hingga aneka bahan kue.
Per hari, Tati biasanya mampu mendapatkan omzet rata-rata Rp 15 juta sampai dengan Rp 20 juta. Namun, akibat diterjang pandemi omzet harian Tati mengalami penurunan hingga 50 persen. "Kalau sekarang paling dapat Rp 6 juta," ucap dia.
Menambah lini unit usaha
BUMDes Wangisagara mulai berdiri sejak 2002. Kepala Desa kala itu, Darya, membuat Peraturan Desa (Perdes) Nomor 5 Tahun 2002 tentang BUMDes. Memiliki payung hukum legal, akhirnya BUMDes pun berdiri dan tidak hanya mengelola pasar desa, melainkan membuat bermacam unit usaha yang cukup menjanjikan.
"Waktu itu dikelola oleh pengelola pasar, tapi kemudian setelah adanya BUMDes. Akhirnya pasar desa itu berada di bawah naungan BUMDes Niagara Desa Wangisagara," ucapnya.
Saat ini, selain mengelola pasar desa, BUMDes Wangisagara pun membuat usaha simpan pinjam, menjajakan produk UMKM, usaha kredit aneka barang-barang elektronik hingga menjadi distributor mesin purifikasi air. Total ada 5 unit usaha yang dikelola BUMDes Wangisagara.
"Kita kerjasama dengan UMKM di masyarakat ada pengrajin sandal, dompet, dan yang baru-baru ini kami ada kerjasama dengan pengrajin madu, dari Purbalingga. Ada warga sini anak daerah yang sekarang tinggal di Purbalingga bikin produk madu, lalu coba dipasarkan di sini," katanya.
Untuk sektor usaha simpan pinjam pun cukup memberikan dampak cukup besar bagi BUMDes Wangisagara. Neneng menyebut dari usaha simpan pinjam, BUMDes bisa memutarkan rupiah hingga belasan miliar per tahunnya.
"Simpan pinjam ini cukup bagus juga ya, karena kan kita berkutat di wilayah pasar. Banyak pelaku usaha yang pengen nambah modal. Kami fasilitasi dengan simpan pinjam. Sekarang uang simpan itu ada sekitar Rp 5 miliar, sementara uang pinjam yang kita kelola itu sekitar Rp 11 miliar ," ujarnya.
Omzet BUMDes Wangisagara per tahun bisa mencapai angka yang cukup fantastis. Perusahaan itu mampu menggulirkan uang rata-rata Rp 30 miliar per tahun.
"Omzet kami sudah mencapai Rp 30 miliar per tahun dan untuk tahun ini saya belum menghitung. Kemarin 2019 dan 2020 bisa mencapai angka segitu. Namun karena PPKM diperpanjang terjadi penurunan, berefek lah ya. Tapi saya belum hitung angka pastinya," ujarnya.
Neneng mengaku terjadi kenaikan omzet yang diraih BUMDes Wangisagara tiap tahunnya. Selain omzet, keuntungan bersih yang diraup BUMDes pun mengalami kenaikan termasuk sumbangan bagi Pendapatan Asli Desa (PADes).
"Setiap tahun pasti ada kenaikan, baik omzet atau keuntungan. PADes alhamdulillah naik. Kemarin aja yang 2020, 30 miliar. Kalau dilihat memang sejak 2019 mulai lebih stabil. Dulu-dulu kurang dari itu, hanya Rp 25 miliar per tahun omzetnya," kata dia.
Dia menyebut perputaran uang dalam jangka waktu satu bulan bisa menyentuh angka Rp 1,2 miliar. Pada Juli 2021, omzet BUMDes mencapai Rp 1,5 miliar. Setelah adanya pemberlakuan PPKM, pada Agustus 2021, omzet BUMDes mengalami penurunan dan hanya menyentuh Rp 1,3 miliar.
"Kalau keuntungan bersih (sudah dipotong PADes), tahun 2020, kemarin kami dapat Rp 1,6 miliar. Sebelumnya tahun 2019, ada di angka Rp 1,3 miliar dan tahun sebelumnya. Pada 2018 kami dapat keuntungan bersih Rp 1,1 miliar," katanya.
Pada 2020, BUMDes Wangisagara berhasil menyumbangkan PADes sebesar Rp700 juta. Sumbangan PADes itu lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya berkisar di angka Rp600 juta. Sementara itu, pada 2018, BUMDes Wangisagara menyumbang PADes sebesar Rp500 juta.
Meski kondisi omzet BUMDes agak terhambat akibat pandemi, Neneng mengatakan tidak akan berdampak besar terhadap sumbangan BUMDes untuk PADes Wangisagara pada 2021. Pasalnya, kata dia, Kepala Desa Wangisagara Enjang Gandi, membuat peraturan desa yang berisi peningkatan persentase PADes dari sektor BUMDes.
"Persentase PADes itu kan diatur melalui Perdes. Kebetulan untuk tahun ini (2021) ada perubahan di Perdes bahwa persentase PADes itu akan lebih besar dari tahun kemarin," katanya.
Besarnya sumbangan untuk PADes mengalami kenaikan menjadi 23 persen dari keuntungan bersih BUMDes. Sebelumnya, BUMDes hanya harus menyumbangkan sebesar 17 persen saja dari total keuntungan bersih tiap tahunnya.
"Jadi mungkin untuk PADes meskipun hasil usaha BUMDes-nya tidak terlalu besar, dibanding kemarin tapi kami yakin ada kenaikan untuk PADes," ucapnya.
Mengalirkan manfaat ke masyarakat desa
Kepala Desa Wangisagara Enjang Gandi (58) mengatakan setelah masuk ke kas PADes, uang BUMDes itu dibagi menjadi beberapa bagian dan diperuntukan untuk kebutuhan dana sosial dan infrastruktur. Pos sosial itu meliputi santunan untuk jompo, anak yatim, operasional madrasah, insentif guru ngaji, kas masjid hingga insentif pengurus RT dan RW.
"Bahkan tahun ini kita berikan bantuan Rp10 juta per RW. Itu untuk bantu dana kegiatan di tiap-tiap RW di Desa Wangisagara. Total ada 14 RW yang kami bantu di wilayah Desa Wangisagara, jadi semua RW dapat," ujar Gandi.
Gandi menyebut sangat banyak manfaat yang didapatkan Desa dengan adanya BUMDes Wangisagara. Selain warga bisa mendapat bantuan langsung, perekonomian warga desa Wangisagara pun tumbuh. Bahkan, Gandi menyebut bisa menggaji staf Desa menggunakan dana PADes.
"Ya alhamdulillah lah kami bisa memberi honor staf desa dari hasil BUMDes ini," katanya.
Ada 25 karyawan yang bekerja di BUMDes Wangisagara. Neneng mengatakan untuk urusan gaji karyawannya memang bervariasi, disesuaikan dengan jenjang karir. Artinya, untuk karyawan yang sudah lama bekerja mendapatkan honor besar.
"Rata-rata untuk honor itu sesuai dengan UMR Kabupaten Bandung tapi ada juga yang lebih dilihat dari lama dia bekerja di BUMDes," katanya.
Saepul Hidayat, (41), pegawai BUMDes Wangisagara, mendapatkan honor di atas UMR Kabupaten Bandung sebesar Rp3,7 juta. Ia bercerita awalnya tidak langsung mendapatkan gaji sebesar itu, melainkan bertahap.
Saepul semula tidak bekerja penuh di BUMDes Wangisagara. Ia hanya bekerja paruh waktu saja. Bergabung dengan BUMDes sejak 2007, silam, Saepul mendapatkan honor pertamanya sebesar Rp150.000 saja.
Namun, di tahun-tahun berikutnya, honor Saepul terus mengalami kenaikan dan ada kebijakan baru dari BUMDes yang mengharuskan karyawannya kerja penuh waktu.
"Dulu belum terikat secara waktunya belum banyak tercurah di BUMDes jadi bisa cari penghasilan lain. Kalau sekarang (gaji saya) di UMR ada," katanya.
Menurut Saepul, bergelut di BUMDes memang bisa memberikan banyak manfaat. Terlepas dari mendapatkan gaji yang cukup, ia pun merasa senang bisa mengabdi untuk masyarakat.
"Manfaat BUMDes disamping kita dapat penghasilan kita bisa memberikan manfaat juga bagi masyarakat, karena kan keuntungannya itu 50 persen lebih kita kasih buat masyarakat," ujarnya.