Dampak Perdes lingkungan dan satwa di Desa Wonocoyo
Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur perlindungan sejumlah tumbuhan dan satwa. Namun ada kekhawatiran warga jika kelebihan populasi burung, saat musim panen tanaman warga diserbu kawanan burung pemakan biji-bijian.
Melihat aneka burung hinggap dan terbang bebas adalah hal lumrah di Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Jenis burung yang kerap menunjukkan diri dan mudah dilihat seperti burung jalak, perkutut, derkuku, dan beberapa jenis burung pemakan biji-bijian.
Desa yang memiliki area bukit, hutan dan pantai ini kaya akan aneka ragam satwa. Memasuki area persawahan, ketika pagi atau sore hari kicau ragam jenis burung saling bersahutan. Aneka satwa yang tinggal mendapatkan perlindungan bebas. Bahkan mayoritas penduduk yang tinggal di sana tidak menangkapnya.
Sebelum tahun 2014, terjadi kebalikannya. Semua jenis satwa yang laku di pasaran akan cepat ditangkap warga. Apalagi jenis burung yang lazim dipelihara seperti jalak dan perkutut. Bahkan Wonocoyo, dianggap sebagai tempat yang mudah untuk mendapatkan telur hingga daging penyu.
Hal itu mulai berubah sejak diberlakukannya Peraturan Desa (Perdes) Nomor 4 tahun 2014 tentang Perlindungan, Pengendalian dan Pemanfaatan Satwa dan Tumbuhan Desa Wonocoyo. Dalam perjalanannya, pengesahan Perdes itu tak sepenuhnya mulus, meski sudah diupayakan sejak 2011—sebelum disahkannya UU Desa (UU No 6 Tahun 2014).
Didik Herkurnadi, 57 tahun, Kepala Desa Wonocoyo menjelaskan alasan munculnya Perdes itu karena realistis, saling berkejarannya pertumbuhan penduduk berbanding luas lahan permukiman. Sebab Wonocoyo berada tepat di pusat kecamatan dan menjadi pusat ekonomi bagi desa-desa sekitarnya.
Padahal hampir setengah wilayah Wonocoyo adalah hutan dan memang selama ini identik dengan hutan. “Jika itu tidak diantisipasi oleh Desa kondisi alam di sini akan terus mengalami degradasi. Tidak menutup kemungkinan akan menggerus lahan-lahan pangan yang ada,” kata Didik saat ditemui di kantornya, Senin, (22/2/2021).
Dari total 678,9 Ha luas Desa Wonocoyo, sekitar 44,9 persen adalah area hutan di bawah pengawasan dan pengelolaan Perum Perhutani. Sisanya peruntukan untuk permukiman sekitar 6,3 persen, sekitar 27,2 persen untuk persawahan, 13,3 persen untuk kebun/ladang, dan sekitar 8,2 persen untuk kebutuhan fasilitas umum.
Sekretaris Desa Wonocoyo, Eko Margono, 50 tahun, menjelaskan sebelum disahkannya UU Desa banyak tahapan yang harus dilalui oleh desa untuk pengesahan Perdes. Belum lagi jika usulannya tidak disetujui pihak struktural di atasnya.
Namun setelah disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menurut Didik, desa dimungkinkan membuat inisiatif terkait dengan hal yang bersifat penting dan segera bagi desa itu sendiri. Lingkup dan cakupan Perdes menyangkut hal-hal yang dianggap strategis oleh desa dan butuh penegakan di tingkat desa. Hal itu dibahas dan disahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Meskipun isi dan ketentuan Perdes Nomor 4 tahun 2014 tentang Perlindungan Satwa dan Tumbuhan masuk dalam UU lainnya. Misal tentang Perdes Perlindungan Satwa ini, secara garis besar ketentuannya sudah ada dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Walaupun objek perlindungan masuk dalam Undang-Undang terkait. Namun legalitas kegiatan petugas desa di lapangan memerlukan payung hukum sendiri,” lanjut Didik.
Dalam Perdes yang terdiri dari delapan Bab dan 19 pasal itu juga memuat ketentuan perlindungan, pemanfaatan hingga sanksi administrasi bagi mereka yang melanggar. Adapun bentuk sanksi administrasi yang misalnya tertuang dalam Bab VII berupa ganti rugi uang setara 10 kali lipat dari harga tumbuhan atau jenis satwa yang dilindungi.
Dalam lampiran Perdes itu terdapat 39 jenis burung, 15 jenis reptil, 10 jenis mamalia, dan 19 jenis tumbuhan yang dilindungi di wilayah Wonocoyo. Untuk pelaksana tugas di lapangan Pemerintah Desa membentuk Perangkat Tugas (Satgas) lingkungan yang beranggotakan warga dengan koordinator dari masing-masing Kepala Dusun.
Pertemuan rutin di tingkat rukun tetangga dilakukan untuk meningkatkan pemahaman warga atas lingkungan dan satwa. Selebihnya dilengkapi dengan poster-poster yang dipasang di pinggir sungai, hutan, dan jalan protokol desa. Sarana sosialisasi lain yang juga digunakan melalui mimbar khutbah Jumat, agar para khatib menyampaikan pentingnya melindungi alam dari sisi agama.
Respon warga
Meski sudah berjalan sekitar tujuh tahun, Perdes perlindungan lingkungan dan satwa itu masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Seperti yang disampaikan Tego, 42 tahun, seorang pedagang burung. Dia khawatir keberadaan Perdes itu mengganggu usahanya, apalagi jika sampai usahanya dilarang hingga ditutup.
“Tetap ada warga yang ingin memelihara burung. Sedangkan menangkap burung di alam juga sudah dilarang oleh desa,” kata Tego saat ditemui, Minggu, (21/2/2021).
Dia berharap ada kebijakan desa yang mengatur tentang tata cara bagi masyarakat yang memiliki hobi memelihara burung.
Wida, 35 tahun, dari lembaga Sima Swatantra Indonesia yang kedudukan di Kecamatan Panggul mengapresiasi keberadaan Perdes itu. Namun Wida berharap agar Pemerintah Desa tidak hanya berhenti di sana, juga melihat perkembangan dan dampaknya secara keseluruhan di masyarakat.
“Kami mengapresiasi Perdes itu, akan tetapi kami juga mengingatkan akan terjadinya over populasi burung-burung pemakan biji-bijian, mengingat di desa ini lahan sawahnya cukup luas” katanya.
Hal senada juga disampaikan Yasir, 75 tahun, warga yang memiliki sawah garapan di Wonocoyo mengatakan saat mendekati musim panen ataupun saat batang-batang pohon roboh terkena angin, banyak burung perkutut dan derkuku yang mencari makan di sawah.
Selain burung, tak jarang bajing (sciuridae) juga dianggap sebagai hama tanaman. Seorang pemilik kebun coklat yang tak ingin namanya disebutkan mengatakan kebun coklatnya sering didatangi oleh jenis hewan pengerat ini, bahkan buah-buah coklat yang masih muda pun menjadi sasarannya.
Meski begitu dia tidak berani untuk menangkap maupun membunuhnya, dia tahu bahwa desa memiliki Perdes tentang perlindungan satwa. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa dalam dokumen lampiran Perkades sebagai aturan turunan dan pelaksanaan dari Perdes tersebut tidak disebutkan bajing sebagai jenis hewan yang dilindungi.
Menanggapi keluhan warga itu, saat dikonfirmasi, Ketua Satgas Lingkungan Hidup Desa Wonocoyo, Misdi, 50 Tahun, menjelaskan adanya saluran pengaduan untuk mereka yang tidak setuju atau mereka yang kena dampak langsung Perdes itu bisa melaporkan kepada Ketua Rukun Tetangga (RT) masing-masing.
Menurut Misdi, sistem pelaporan itu berjalan meski belum maksimal. Dia mencontohkan bagaimana penanganan kasus penangkapan ikan menggunakan setrum dan potassium. Informasi awalnya dari warga dan diteruskan ke Ketua RT dan informasi tidak dipublikasikan.
Mendengar laporan itu, pihak Satgas lingkungan langsung turun ke lapangan. Di lokasi pelaku mendapat pembinaan serta sanksi berupa pelepasliaran ikan sejumlah 1.000 ekor dilokasi yang sama.
“Itu pun pelepasliarannya menunggu sepuluh hari, karena airnya harus normal dulu,” ujar Misdi.
Mengenai keinginan warga memelihara burung Sekretaris Desa Eko Margono menjelaskan akan disiapkan aturan baru. Dia mencontohkan nanti masyarakat diperbolehkan memelihara burung dan mengambil dari alam untuk dibudidayakan dengan batasan dua ekor per keluarga serta akan dicatat oleh desa.
Sedangkan soal over populasi burung dan bila sudah sampai merusak panen penduduk, menurut Eko, aturan yang ada sudah mengantisipasi hal itu. “Itu sudah ada dalam Perdes dan jika jenis-jenis itu sudah tergolongkan sebagai hewan hama tanaman dan jenis satwa yang mengganggu serta membahayakan keselamatan umum, maka dia masuk dalam pengecualian,” kata Eko.
Setelah Perdes perlindungan lingkungan dan satwa itu disahkan, Desa Wonocoyo juga memiliki tiga Perdes untuk kelanjutannya. Seperti Perdes no 4 tahun 2015 Tentang Kebersihan, Keindahan, Ketertiban dan Kesehatan Lingkungan (K4L), Perdes No. 4 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sampah dan Perdes no 13 tahun 2019 tentang Sesaji Bumi.
Perdes Sesaji Bumi adalah upaya desa menguatkan budaya desa. Dalam pelaksanaannya jika masyarakat ada yang menikah maupun melahirkan dan saat melakukan pencatatan di desa, diwajibkan menanam minimal satu pohon atau melepas liarkan burung yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah desa.