BUMDes, pintu gerbang menuju desa swasembada
“Bagi kami di Desa Tebara, jalan terbaik menuju kemandirian desa adalah dengan BUMDes. Desa harus memberdayakan BUMDesnya sehingga bisa menjadi lokomotif ekonomi di desa,” tutur Marthen Bira, Kepala Desa Tebara, NTT.
Mewujudkan desa swasembada tidak selayaknya hanya wacana belaka. Menyelaraskan langkah perangkat desa dan BUMDes bisa menjadi gerbang awal menuju cita-cita swasembada.
Di Indonesia, tercatat ada 74.953 desa yang tersebar di seluruh Nusantara. Namun berdasarkan data dari Kemendagri, hanya 5 persen desa yang mampu menjadi desa swasembada.
Dalam acara Lokadata Webinar Desa #2 yang mengangkat tema “Optimalisasi Aset Desa untuk Pengembangan BUMDes” yang diselenggarakan Kamis (26/11), Dr. Eko Prasetyanto Purnomo Putro, Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Desa, Ditjen Bina Pemerintah Desa, Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa 70 persen desa di Indonesia masih berstatus swadaya.
“Perlu upaya ekstra untuk memajukan desa di Indonesia. Salah satunya adalah melalui BUMDes yang sudah diatur dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang desa, untuk mewujudkan desa yang maju, mandiri, sejahtera, tanpa kehilangan jati dirinya. Inilah yang perlu dimusyawarahkan dan dicari bersama jalan keluarnya,” ujar Eko.
Lokadata Webinar Desa Seri 2: Optimalisasi Aset Desa Untuk Pengembangan BUMdes
Langkah seirama pemerintah desa dan BUMDes
Dalam Lokadata Webinar Desa #2 hadir pula Marthen Bira, Kepala Desa Tebara, Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, NTT, yang menuturkan langsung bagaimana ia membangun sinergi antara BUMDes dengan perangkat desa yang ia pimpin.
Pada Januari 2020, Desa Tebara membentuk BUMDes Iyya Tekki yang mengelola beberapa unit usaha di desa tersebut. Adapun unit usaha yang dikelola mulai dari unit pariwisata hingga kebutuhan pokok.
“Bagi kami di Desa Tebara, jalan terbaik menuju kemandirian desa adalah dengan BUMDes. Desa harus memberdayakan BUMDesnya sehingga bisa menjadi lokomotif ekonomi di desa,” tutur Marthen.
Guna mendukung optimalisasi kinerja BUMDes, Kementerian Dalam Negeri mendorong pemerintah dan lembaga desa untuk bersinergi bersama BUMDes dalam memanfaatkan potensi serta aset yang ada di desa.
Dengan adanya Permendagri Nomor 1 Tahun 2016, BUMDes diharapkan dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan aset desa demi kesejahteraan masyarakat di sana.
“Aset desa sebenarnya terbagi menjadi 2 jenis, yakni aset yang langsung dikelola oleh pemdes dan aset yang tidak dikelola pemdes atau aset yang dipisahkan. Kekayaan desa yang dipisahkan inilah yang sebenarnya bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh BUMDes untuk kesejahteraan masyarakat desa,” jelas Eko.
Marthen mengatakan, proses pembentukan BUMDes hingga bisa berjalan seperti saat ini memang bukan tanpa tantangan. Dalam perjalanannya, sesekali gesekan antara para pemangku kepentingan pun tidak bisa dielakkan.
“Buat saya, kerikil kecil itu biasa. Ketika masalah seperti itu hadir justru menandakan kami berada di jalan yang benar dan akan tumbuh besar. Sebenarnya, kalau pemerintah desa paham, untuk saat ini cara terbaik memajukan desa ya dengan mendirikan BUMDes. Dan desa harus mendukung BUMDes. Ketika pemdes dan BUMDes punya tujuan yang sama untuk menyejahterakan masyarakat, saya rasa sudah sepatutnya keduanya bersinergi,” Marthen menegaskan.
Manfaat peran BUMDes sudah dirasakan langsung oleh masyarakat Desa Tebara, Waikabubak, NTT, yang baru mendirikan BUMDes Iyya Tekki pada Januari 2020. Kampung Wisata Prai Ijing NTT, yang saat ini dikelola BUMDes Iyya Tekki misalnya, sudah mampu menyerap sekitar 60 tenaga kerja lokal dan menghasilkan pendapatan bruto sebesar Rp244.000.000 pada 2019. Belum lagi tambahan pemasukan dari unit usaha lain BUMDes Iyya Tekki, seperti Lumbung Desa, Pasar Desa, hingga Toko Grosir Desa.
Akan tetapi di satu sisi, keberhasilan BUMDes tidak semata ditentukan oleh hitung-hitungan bisnis dan untung-rugi. “Ada tiga perspektif yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan BUMDes, yakni perspektif sosial, bisnis, dan perspektif kehadiran negara. Apakah BUMDes memberikan kesempatan kelompok termarjinalkan untuk bekerja di sana, apakah karyawan BUMDes bahagia saat bekerja, atau apakah BUMDes mampu menyelesaikan masalah di tingkat desa,” Mohamad Dian Revindo., Ph.D (LPEM-FE Universitas Indonesia) menjelaskan.
Menurut Reviando, jika BUMDes mampu menyelesaikan masalah di tingkat desa, bukan tidak mungkin dukungan masyarakat akan tumbuh dengan sendirinya. Dengan begitu, akan terbentuk sebuah sistem yang sustainable. “Tidak peduli apakah pengurus BUMDes atau pemerintah desanya akan berganti di kemudian hari, masyarakat pasti akan tetap mendukung karena masyarakat melihat ada kepentingan bersama di situ,” tutup Eko.