Daya Lenting Bank Sampah Montolutusan
Daya lenting Bank Sampah Montolutusan semakin kuat melewati tumpukan masalah sampah hingga gempuran Covid-19.
Efsuin Batukahon, lelaki 40 tahun itu, tak henti mengobrak-abrik sesuatu di halaman rumahnya. Ia memilah tumpukan sampah menjadi beberapa bagian dan kemudian memisahkannya dalam karung. Ada karung sampah organik dan anorganik. Kegiatan ini sudah menjadi keseharian lelaki dari Desa Paisubololi itu.
“Sampah-sampah ini memang harus dipilah, biar terlihat rapi. Kalau dicampur semua susah untuk menguraikan kembali,” ujarnya.
Baginya, mengumpulkan sampah bagaikan memanen emas yang tersembunyi. Sampah ternyata punya nilai ekonomi. Padahal, dulu ia tak peduli dengan sampah. Sampah seolah sesuatu yang tak berguna. Kini, Efsuin adalah salah satu orang yang terlibat aktif di Bank Sampah Montolutusan sebagai nasabah aktif. Juga, anggota pengurusan bank sampah ini.
“Saya tahu memilah sampah ini berkat Bank Sampah Montolutusan. Saya mendengar sosialisasi mereka tentang sampah yang bisa dimanfaatkan, baik menjadi uang atau bisa memberikan dampak baik lainnya bagi lingkungan,” ungkapnya.
Bank Sampah Montolutusan sendiri merupakan unit pengelolaan sampah yang digerakkan oleh masyarakat di Desa Paisubololi, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Bank sampah ini berdiri 16 Juni 2019. Lokasinya jauh dari hiruk-pikuk pusat kota. Namun, memiliki semangat tinggi akan kepedulian mengatasi masalah sampah.
Sejak berdirinya bank sampah ini, Efsuin selalu giat untuk belajar tentang sampah. Ia menyapu dan mengumpulkan sampah dari daratan, laut, hingga muara-muara sungai. Berpuluh-puluh karung tiap harinya. Menurutnya, sampah ini berasal dari perilaku masyarakat yang tak sadar akan bahaya sampah. Ketika dibuang ke sungai, sampah mengalir hingga menumpuk di lautan.
Berawal dari keresahan
Desa Paisubololi, adalah desa pesisir yang berjarak tidak jauh dengan pantai. Desa ini dilewati satu anak sungai yang mengalir. Karena ketiadaan, tong sampah membuat sungai ini terlihat seperti sampah berjalan. Kegelisahan akan persoalan sampah juga muncul di benak Redmon Samadwy (40) Kepala Desa Paisubololi. Ia mengaku desanya kekurangan bak sampah. Masalah ini membuat sampah tidak terurus. Namun, menurutnya masalah sampah tak semudah membalikan telapak tangan. Ibaratnya, sampah adalah mata rantai yang panjang.
“Masalah kita sebenarnya terletak di TPA atau TPS, dan di Kecamatan Batui Selatan ini belum punya itu,” ujarnya. Kondisi ini membuatnya khawatir, bak sampah tanpa ada Tempat Pembuangan Sampah Akir (TPS), justru membuat sampah bertumpuk di kantong-kantong pembuangan sementara.
“Saya sudah merencanakan program bak sampah di depan rumah, hanya saja muncul masalah baru. Warga tidak mau menghibahkan tanah mereka untuk dibuatkan bak sampah atau tong sampah di depan rumah mereka,” jelas Redmon. Mimpi akan bak sampah desa menjadi angan-angan. Solusi tak kunjung tiba. Persoalan semakin pelik saat salah satu anak perusahaan minyak dan gas di desa ini, membiarkan tumpukan sampahnya hingga menggunung. Di tempat penyewaan lokasi pengelolaan sampah mereka di desa ini.
Kegelisahan ini mendorong inisiatif Indri Agustina. Menurutnya, manajemen pengolahan sampah dari perusahaan ini membuat sampah semakin tidak terurus. Sampah dibiarkan datang, ditumpuk, lalu dibakar. Jika dibiarkan, akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Indri Agustina punya konsep lalu menawarkan ide dan gagasannya kepada pihak perusahaan ini. Ia mengajak kerjasama dalam pengolahan sampah ini agar bisa memberi dampak pada warga sekitar. Gayung bersambut, pihak perusahaan setuju dengan konsep pengolahan sampah secara terpadu ini.
“Sebab, jika tidak urus, masalah buruk yang ditimbulkan nanti berupa polusi. Sampah di situ juga hanya dibakar, dan yang lain rugi tanpa dikelola kembali,” ujar Indri.
Ia bersama suami dan sahabatnya, yang tergabung ke dalam kelompok Herbalis Batui Selatan, lalu merintis bank sampah. Respon cepat datang dari bank sampah induk di Kota Banggai, Luwuk. Ide ini lalu digulirkan pada pemerintah desa, masyarakat dan lanjut membentuk struktur bank sampah. Indri Agustina didaulat menjadi direktur bank sampah ini dengan 12 orang warga sebagai anggota. Namanya, Bank Sampah Montolutusan, bahasa Saluan artinya kekeluargaan atau persaudaraan.
“Kehadiran bank sampah di desa menjadi solusi sebenarnya, tapi perlu manajemen yang baik juga,” kata Redmon dan menyetujui dukungan pemerintah desa dengan memberikan sebidang tanah untuk bangunan fisik bank sampah ini.
Bagi Efsuin, kehadiran bank sampah adalah angin segar. Ibaratnya, bank sampah seperti sekolah yang memberinya pengetahuan sekaligus pemberdayaan. Bagi warga desa lainnya, kehadiran bank sampah menjadi solusi pendulang ekonomi. “Bank sampah yang kami kelola ini memang untuk masyarakat di desa. Utamanya memberikan edukasi soal sampah, dari pemilahan sampai mendapatkan keuntungan,” terang direktur Bank Sampah Montolutusan tersebut.
Keuntungan dari sampah
Kehadiran bank sampah mendongkrak partisipasi warga. Tak hanya di desa tapi juga menular ke kota. Tercatat nasabah yang terdaftar sebanyak 300 orang dan masih terus bertambah. Dari nasabah ini, tiap bulan terkumpul kardus hingga mencapai 700’an kilo dan plastik mencapai 30’an kilo.
“Nasabah kita setiap harinya meningkat, dari yang berkeluarga sampai anak muda. Keuntungan yang didapatkan bisa menghidupi keluarga, yang diperoleh dari hasil penjualan sampah,” tutur Indri bangga.
Menurut Indri, sistem Bank Sampah Montolutusan sendiri terbagi menjadi tiga metode; sampah disetor untuk ditabung, dijual, atau tukar sembako. Untuk hal menabung, bisa dalam bentuk tabungan uang atau dalam bentuk emas. Dan untuk membuktikannya, salah satu penerima manfaat tabungan di bank sampah ialah Efsuin.
“Dia rajin menabung sampahnya, paling sedikit dia menabung Rp500 ribu dan paling banyak Rp1 juta. Tabungan itu yang dia gunakan membiayai persalinan anaknya,” terang Indri.
Perputaran ekonomi di desa juga mulai membaik sejak hadirnya bank sampah. Masyarakat yang harus mengeluarkan uang puluhan ribu demi kebutuhan pokok di rumah, kini sudah bisa ditukar dengan sampah.
Hingga saat ini, total omset yang didapatkan dari pengelolaan sampah di desa sebesar Rp60 juta. Itu hanya dikumpulkan dari kurun waktu satu tahun. Namun, sebanyak 15-20 persen keuntungan digunakan untuk biaya operasional.
“Hanya 10 persen keuntungan diambil buat bank sampah, 15-20 persen untuk biaya operasional, dan sisanya digunakan untuk modal,” ujar Indri.
Namun, badai tantangan datang pada masa pandemi. Seolah hari-hari itu menjadi mendung. Omset bank sampah terjun payung ke angka terendah. Bank sampah mengalami kerugian sepanjang tahun 2021. “Omset tidak ada, rugi banyak,” ujarnya menambahkan. Bank sampah ini kehilangan uang sebesar Rp 20 hingga Rp 30 juta. Indri dan pengurus memutar otak menyelamatkan bank sampah ini. Mulai usaha sayuran, olahan penganan, dan apapun yang bisa memberi pemasukan. Tamparan keras juga datang saat perusahaan mitra menghentikan Kerjasama akibat situasi Covid yang mengamuk.
Menggerakkan Semangat Muda
Bank sampah semakin menggeliat saat anak-anak muda mulai terlibat dan memberi semangat baru. Daya gedor mereka membuat bank sampah ini mulai merangkak lagi. Anak-anak muda yang tergabung ke dalam relawan bank sampah ini, didorong oleh kepedulian akan lingkungan mereka. Bukan semata karena mencari uang.
Naldi, adalah satu anak muda desa yang punya semangat tinggi. Ia menjadi sumbu bagi anak-anak muda desa untuk bergabung ke dalam bank sampah ini. Sekalipun tak sedikit tantangan datang dari orang tua dan kawan mainnya.
“Sempat tidak izinkan oleh keluarga, dan bahkan mereka meragukan masa depan kami mau jadi apa nantinya kalau ikut terlibat di bank sampah,” ujar Naldi.
Keraguan itu akhirnya ditepis Naldi. Ia membuktikan bahwa pilihannya tak salah. Keterlibatannya membuat anak-anak muda ini semakin berjejaring dalam Bank Sampah Montolutusan. Dan memperkuat patron di desanya. Sikap egaliter, solider dan kerja sama kolektif membuat suasana bank sampah terasa setara. Dan membuka pintu lebar kritik-auotokritik terhadap sesuatu yang dianggap keliru.
“Rata-rata yang mengisi pengurus dan struktur di bank sampah adalah anak-anak muda, dan punya gagasan yang progresif terhadap lingkungan desa mereka yang lebih asri dan lestari,” tambahnya.
Berdaya melalui Bank Sampah
Perubahan ini membuat Redmon, Kepala Desa Paisubololi mengapresiasi dan sadar akan keberadaan bank sampah ini. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya mengelola sampah secara terpadu. Warga desanya semakin aktif menyortir sampah dari rumah tangga mereka.
“Setidaknya ada perubahan perilaku, yang dulunya buang sampah sembarangan kini mulai tertata. Jika diukur, sudah 80 persen warga di sini sudah paham soal pemilahan sampah,” jelas kepala desa ini.
Daya gedor bank sampah memang perlu didukung oleh peraturan. Keberadaan peraturan desa tentang sampah membuat warga semakin patuh dan disiplin mengelola sampah. Termasuk kerja sama antar desa agar sampah tak lagi menumpuk di sungai dan laut.
Namun, satu langkah mengikat sampah dalam aturan hukum, tak juga mudah. Pekerjaan rumah lainnya, di desa ini ketiadaan TPA kecamatan dan perdes sampah.
Bank Sampah Montolutusan menjadi benteng terakhir dari 46 bank sampah yang pernah berdiri. Tak salah, jika keberadaan bank sampah ini menjadi ruang belajar bagi desa lain. Kini, desa ini bisa melambungkan harapan akan pengelolaan sampah terpilah dan sekaligus mendorong kemandirian desa.